Kamis, 13 September 2012

Pengantar Ilmu Hadist oleh Ali Nashiri

PASAL PERTAMA


Tinjaun Umum Tentang Ilmu Hadits


Hadits secara etimologi memiliki arti segala sesuatu yang baru dan ia memiliki dua fungsi bahasa, dimana diantaranya adalah: ucapan/perkataan dan kejadian. Dan secara terminology, ia bermakna bahwa "Hadits adalah ucapan atau perkataan, selain dari Al Qur'an, baik yang datang dari Allah SWT, para Ma'shum as, para sahabat dan para tabi'in dan juga berupa perbuatan dan pernyataan dari mereka."


Sunnah menurut arti leksikalnya adalah cara, methode dan tariqat, dan secara istilah memiliki maksud bahwa segala ucapan, perbuatan dan pernyataan para Imam Ma'shum as; istilah sunnah itu memiliki makna lebih umum dari hadits karena sunnah itu mencakup perbuatan dan pernyataan para Imam Ma'shum as, sementara hadits hanya berupa berita yang menghikayatkan tentang perbuatan dan pernyataan mereka.


Riwayat menurut arti bahasa adalah membawa (haml) dan Khabar dalam istilah bahasa adalah konsep atau sesuatu yang dipahami lalu diberitakan dan dikabarkan, dan Atsar secara bahasa adalah segala bentuk peninggalan atau berupa bekas. Ketiga kosa kata ini (Riwayat, Khabar, dan Atsar) dilihat dari dimensi istilah memiliki makna yang sama dengan Hadits .


Hadits Qudsi adalah "menceritakan tentang firman Allah Swt dengan catatan bahwa isi dan kandungannya itu dari Allah Swt, sementara lafaz itu dari nabi."


Argumen tentang kehujjahan (keargumentasian) sunnah Nabi saw


Argumen akan kehujjahan sunnah Nabi saw dapat dijelaskan dalam bentuk seperti berikut ini:


Argumen logis


Falsafah diutusnya Rasulullah saw adalah untuk memberi hidayah dan petunjuk serta men-tarbiyah dan mendidik umat manusia, memberikan solusi terbaik untuk mengakhiri segala pertikaian dan percekcokan dan mengantarkan umat manusia kepada kehidupan yang sistematis yang tentunya bisa memberikan ketentraman dan kenyamanan serta kesejahteraan umat manusia. Dan tujuan ini hanya bisa terealisasi dibawah naungan dan bimbingan para nabi yang ma'shum dan kema'shuman mereka itu tidak hanya pada satu sisi, tapi pada seluruh dimensi dirinya dan konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa ketika mereka memiliki kondisi ini (dirinya terjaga dari segala bentuk dosa dan maksiat) maka tentunya tingkah dan ucapannya itu memiliki nilai ke-hujjahan.


Argumen Naqli


1. Al Qur'an


a. kehujjahan keputusan Rasulullah saw: kemestian menerima keputusan-keputusan Rasulullah saw tanpa syarat menandakan akan kehujjahan ucapan beliau. Sebagaimana firman Allah Swt: {(Qs. Al Baqarah: 213: "Sebelumnya, manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan akibat meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan kitab (samawi) bersama mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan."), (Qs. An Nur: 51: " Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah mereka berkata, "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."), (Qs. Al-Ahzâb: 36 : " Dan tidaklah patut laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) perempuan yang mukmin memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan."), (Qs. An-Nisâ': 65 Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.)}.


b. ketaatan kepada Rasul saw sama dengan ketaatan kepada Allah Swt: penegasan semacam ini (bahwa taat kepada Nabi saw sama dengan taat kepada Allah Swt) banyak ditemukan dalam Al Qur'an dan ini pertanda bahwa seluruh ucapan dan tingkah Nabi saw memiliki nilai hujjah. Sebagaimana firman-Nya pada beberapa ayat berikut ini: (Qs. An-Nisâ': Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu…), (Qs. Al-Ahzâb: 36 Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.), (Qs. Al-Hujurât: 1: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".), (Qs. Ali 'Imran: 31: " Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku".), (Qs. An-Nisâ' : 80: "Barang siapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.").


c. diperkenalkannya Nabi saw sebagai figur dan suri tauladan yang baik: kemestian untuk meniru dan mengikuti perilaku dan akhlak Nabi saw secara mutlak dan tanpa pengecualian memiliki arti bahwa segala perbuatan dan tingkah laku Nabi saw mengandung hujjah. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Qur'an: (Qs. Al-Ahzâb: 21: " Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah").


d. kewajiban untuk tetap berpegang kepada seluruh tuntunan dan bimbingan Rasulullah saw. Firman-Nya dalam Al Qur'an: (Qs. Al-Hasyr: 7: "Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.")


Catatan:


1. kalimat (ما آتاکم ) dengan maknanya yang bersifat umum (universal), maka ia mencakup segala apa yang datang dari Rasulullah saw, baik itu berupa tindakan, ucapan dan juga pernyataan.


2. disamping berisi tentang keharusan berpegang dan mengamalkan segala apa yang diperintahkan Rasulullah saw, juga di dalam ayat tersebut ditegaskan akan kemestian menjauhi segala apa yang dilarang oleh Beliau saw; yakni dalam ayat tersebut secara bersamaan disebutkan tentang perintah mengamalkan apa yang diserukan oleh Nabi saw dan perintah tentang menjauhi apa yang dilarangnya.


3. termaktubnya kata rasul dalam ayat tersebut yang berdasarkan pada kaidah: (تعل?ق الحکم بالوصف مشعر بعل?ته) menandakan bahwa ketaatan disini bukan dikarenakan diri Rasulullah, akan tetapi dikarenakan substansi risalah dan adanya hubungan langsung beliau saw dengan Allah Swt.


4. anjuran kepada ketakwaan dan ancaman atas adanya balasan Ilahi merupakan bagian dari ke-I'tibaran (validitasi) sunnah Rasulullah saw dan juga mengetahui hal itu akan menimbulkan sikap takwa.


2. Ijma'


Terkait dengan kehujjahan sunnah Nabi saw, di kalangan aliran-aliran atau mazhab Islam terdapat istilah yang disebut ijma' . (kendati parameter kehujjahannya itu berbeda, dimana menurut Ahlusunnah ijma' para ulama dan menurut Syi'ah adalah hasil penyingkapan dari pandangan para Imam Ma'shum as.)


3. Sirah 'Amaliyah Kaum Muslimin.


Keteguhan secara kontinitas kaum muslimin dalam memegang sunnah Rasulullah saw menandakan bahwa kehujjahan sunnah Nabi saw betul-betul diterima secara praktikal.


Argumentasi ke-hujjahan sunnah para Imam Ma'shum as


Argumentasi akan kehujjahan sunnah para Imam Ma'shum as dapat dijelaskan dengan cara berikut ini:


Argumen logis


Falsafah risalah para nabi (keselamatan selalu bersama mereka) adalah 'ishmat (keterjagaan) dimana melalui hal itu lahirlah ketetapan bahwa sunnah mereka itu adalah hujjah. Demikian juga dengan para Imam Ma'shum as, dengan posisi dan kedudukan mereka sebagai penerus dan pengganti Rasulullah saw, maka konsekuensi logisnya bahwa mereka pun harus ma'shum (terjaga) dan dengan kema'shuman ini maka sunnah/riwayat para Imam Ma'shum as pun dapat ditetapkan kalau ia memiliki nilai hujjah.


Imam dalam prespektif Syi'ah adalah washi dan pengganti Rasulullah saw. Dan seorang Imam memiliki kewajiban untuk mengemban tugas-tugas Nabi saw, diantara tugas-tugas itu adalah selain memberi hidayah dan bimbingan kepada umat, ia juga harus membentuk sebuah pemerintahan islami yang bertujuan mengantarkan umat kepada sebuah kehidupan yang ideal dan juga memberikan solusi-solusi terbaik atas segala masalah dan problem yang berkembang di tengah-tengah umat.


Oleh karena itulah, untuk melaksanakan tugas dan menerapkan hal ini, Nabi saw harus ma'shum dan demikian juga seorang imam, yang tentunya sebagai pengganti dan penerus risalah Nabi saw, harus ma'shum.


Argumen Naqli


1. Al Qur'an: ayat-ayat seperti ayat wilayat, ayat tabligh, ayat tathhir dan sebagainya, disamping sebagai bukti akan keimamahan para Imam Ma'shum as dan juga kema'shuman mereka, juga dengan menggabungkan argumen naqli ini dengan argumentasi logis yang dipaparkan diatas, maka kehujjahan sunnah/riwayat mereka pun dapat dibuktikan.


2. Hadits Nabi saw: telah ditemukan dalam riwayat-riwayat Rasulullah saw yang menjelaskan secara khusus tentang keimamahan Imam Ali as dan juga secara umum menerangkan mengenai ke-imamahan para Imam Ma'shum as. Dan konsekuensi logis dari maqam imamah ini adalah ishmat dan juga kehujjahan sunnah (para Imam as). Selain itu, dalam hadits tsaqalain telah ditegaskan pula bahwa sunnah para Imam Ma'shum as selalu relevan dengan Al-Qur'an sampai pada hari kiamat. Artinya bahwa kehujjahan sunnah Ahlulbait as dengan Al Qur'an adalah sama dan tidak ada perbedaan sedikit pun.


Dasar-dasar Perhatian Rasulullah Pada Hadits


Dasar-dasar perhatian Nabi saw pada masalah hadits dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. posisi budaya belajar-mengajar dalam Islam: melihat perhatian Islam yang demikian besar, sebagaimana dipertontonkan baik oleh yang pro terhadap Islam atau pun yang kontra terhadapnya dan juga telah digambarkan dalam ayat-ayat dan riwayat, terhadap pentingnya budaya belajar-mengajar, maka tidaklah semudah itu untuk mencoba mengklaim bahwa Rasulullah saw telah lalai dari sunnah yang merupakan sumber kedua dari ajaran Agama Islam dan juga mengklaim bahwa Rasulullah saw tidak punya perhatian penuh terhadapnya (sunnah).


2. perhatian Nabi saw dalam menebarkan hadits: hadits Nabi saw yang beliau sabdakan pada peristiwa pelaksanaan haji wada' (perpisahan) yang artinya adalah: "barangsiapa dari umatku menghafal 40 hadits…" dan juga hadits yang artinya: "hendaknya orang yang hadir menyampaikannya kepada orang yang gaib (tidak hadir)". Adalah merupakan salah satu contoh dan bukti nyata bahwa Nabi saw memiliki perhatian yang sangat besar terhadap penyebaran hadits.


3. perhatian Nabi saw terhadap penulisan hadits: terkait masalah ini, ada dua hal penting yang harus dijelaskan: a). Rasulullah saw, melalui para sahabatnya, menginginkan supaya mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan hafalannya (dalam menjaga hadits. Pener.), akan tetapi hendaknya mereka juga menulis hadits-hadits tersebut. b). munculnya sebagian tulisan-tulisan hadits di era kehidupan Rasulullah saw, seperti ash shahifah ash shadiqah, menandakan bahwa penulisan hadits ketika itu mendapat perhatian yang cukup signifikan.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar