Kamis, 13 September 2012

Pengantar Ilmu Hadist oleh Ali Nashiri (6)

PASAL KEENAM


Mengenal Dasar-dasar Fiqh al Hadits


1. Fiqh al Hadits yang berarti penafsiran dan penjelasan hadits, merupakan cabang ilmu hadits paling penting setelah sejarah hadits, istilah-istilah ilmu hadits, dan rijal hadits. Dan seluruh ilmu-ilmu hadits digunakan sebagai mukadimah atau tangga awal untuk mempermudah dalam memahami hadits.


Definisi Fiqh al Hadits: dasar-dasar atau aturan-aturan yang digunakan untuk memahami teks-teks dan implikasi riwayat-riwayat dan juga penafsiran dan penjelasan yang diajukan atas hadits-hadits berdasarkan pada dasar dan aturan ini.


2. Konsepsi-konsepsi (pemahaman) kata merupakan kajian utama pada dasar-dasar dalam memahami hadits. Karena kata-kata ibarat pondasi dasar sebuah kalimat atau ungkapan yang mana ia memainkan peran sebagai media dalam menyampaikan makna atau maksud. Perbedaan pada makna قطع (potong) dan definisi "tangan" pada Qs. Al Maidah: 38 (السارق و السارقة فاقطعوا أيديهما), dan definisi مول? (maula) pada riwayat: من کنت مولاه فعل? مولاه merupakan diantara contoh akan perlunya ilmu ini.


3. Dengan alasan bahwa kata-kata dalam bahasa arab terbentuk dari form-form (bentuk) yang berbeda-beda dengan melihat akar katanya tersebut, maka mengetahui akar kata merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam memahami makna sebuah kata.


4. Terkait dengan kata-kata yang konsepsi-konsepsinya itu berhubungan dengan alam metafisik, seperti: Mizan, Lauh, Qalam, 'Arsy, dan lain-lain, terdapat tiga pandangan;


a). maktab ta'thil; kewajiban kita atas konsepsi kata-kata seperti ini adalah menyerahkannya kepada Allah Swt.


b). maktab tasybih (antropomorfisme); memaknai kata-kata tersebut sesuai dengan makna materinya.


c). maktab antara ta'thil dan tasybih; menyandarkannya kepada apa yang diajarkan oleh para Imam Ma'shum as. Pandangan yang ketiga inilah yang bisa diterima dan dengannya akan diperoleh makna murni dari kata-kata tersebut. Sebagai contoh; kata mizan pada hari kiamat yang sebagian memaknainya dengan timbangan yang ada di dunia, diganti dengan makna lain yaitu (( ما يوزن به )) dimana dengan makna ini maka manusia sempurna (insan kamil) juga bisa termasuk di dalamnya.


5. Sebagian kata-kata itu mengalami perubahan dan pembaharuan makna yang diakibatkan oleh roda zaman serta kebutuhan yang berbeda-beda setiap dekade dan era, dan ini memungkinkan kalau makna awal dari kata-kata tersebut mengalami penyempitan atau perluasan makna atau bahkan pertentangan makna awal dengan makna barunya. Oleh sebab itu, merupakan sebuah kemestian untuk memperhatikan makna yang dimaksud pada masa dikeluarkannya riwayat-riwayat tersebut. diantara contoh yang sangat jelas, yaitu kata tafaqquh dimana ketika riwayat tersebut keluar maka secara mutlak diartikan dengan pemahaman agama. Namun pada masa kita sekarang ia dimaknai dengan kajian agama khusus dalam bidang fikih dan ahkam (hukum-hukum).


6. Bahwa dengan adanya sebagian kata-kata seperti mu'min dan munafik dalam riwayat-riwayat yang digunakan pada makna-makna tertentu dan dikategorikan memiliki makna istilah riwayat, maka dengan ini perlu memperhatikan makna dari setiap kata-kata tersebut sesuai dengan istilah-istilah khusus riwayat atau hadits.


7. Selain terkait dengan kata-kata, susunan kata-kata tersebut yang darinya sebuah kalimat bisa terbentuk dan juga ilmu nahwu (gramatikal) yang mengemban tugas tersebut (menyusun kata-kata menjadi kalimat), memegang peranan yang sangat besar dan mendasar dalam membantu bagaimana memaknai hadits-hadits. Sebagai perumpamaan dalam hadits: (( ان الله خلق آدم عل? صورته )) kalau dhamir (kata ganti) (( صورته )) kembali kepada Allah Swt maka akan terjebak pada tasybih (antropomorfisme), tapi kalau kata gantinya itu kembali kepada Nabi Adam as maka akan berarti ketetapan bentuk manusia. Dengan demikian sangatlah penting untuk mengetahui bentuk susunan kalimat-kalimat.


8. Dalam beberapa riwayat terdapat hal-hal seperti Allah Swt menginterogasi dan meminta pertanggungjawaban akal atau langit dan bumi menangis akibat kematian seorang mukmin, dimana dalam pemaknaannya secara zahir merupakan hal yang sulit. Untuk memahami makna riwayat-riwayat seperti ini, perlu menggunakan kaidah-kaidah ilmu ma'ani dan ilmu bayan dan dengan melihat asal bahasa riwayat-riwayat tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa kalimat-kalimat seperti ini mengandung nilai-nilai kinayah (sindiran) dan isti'arah (metafora).


9. Siyaq yang berarti cara berbicara dan menyusun kalimat adalah salah satu indikasi redaksional yang punya pengaruh penting dalam memahami kandungan sebuah kalimat serta menghilangkan adanya dwimakna (mubham) yang terdapat di dalamnya dan juga membantu untuk menemukan makna-makna yang dimaksud si pembicara. Sebagai perumpamaan dalam riwayat ghadir dimana di dalamnya terdapat kalimat (( ألست أولي بالمؤمنين من أنفسهم و أموالهم)) yang menjadi indikasi sehingga bisa memaknai kata ((مولي)) yang terdapat pada kalimat (( من كنت مولاه فهذا علي مولاه)) sebagai Imamah dan pemimpin.


10. Bahwasanya riwayat-riwayat itu memiliki kesamaan dengan Al Qur'an, yaitu antara satu riwayat dengan riwayat yang lain itu saling menafsirkan dan menjelaskan. Dari itu sebuah kemestiaan, dalam rangka memahami kandungan terakhir sebuah riwayat, merujuk kepada riwayat-riwayat yang serupa isi serta kandungannya yang disebut riwayat dari satu keluarga.


Cara pandang yang determinitif oleh sebagian pemikir Islam adalah bermuara dari cara pandangnya yang sama terhadap Al Qur'an dan hadist, dimana ia hanya dapat dipahami dari sisi lahiriahnya saja, dan atau cara pandang sufistik yang hanya memfokuskan pada ayat-ayat atau riwayat-riwayat yang berisi tentang buruknya mencintai dunia serta isinya dan cenderung hanya kepada kezuhudan dan akhirat. Mereka ini telah lalai terhadap bagian lain dari ajaran-ajaran agama yang mana di dalamnya dijelaskan secara tegas dan transparan akan kebebasan dan ikhtiar manusia dan juga bantahan terhadap cara hidup menyendiri dan menyepi.


Published with Blogger-droid v2.0.4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar