Jumat, 17 Agustus 2012

Zakat

Z A K A T


Makna Zakat

Arti zakat menurut bahasa adalah tumbuh. Perkataan زﻛﺎﺍﻟﺰﻉ (zaka az-zar'u) berarti, "Tanaman itu tumbuh dan baik."


Allah SWT berfirman,


Mengapa engkau membunuh jiwa yang zaki (yang bersih, yang sedang tumbuh dengan baik) padahal dia tidak membunuh seorang pun. ( Qs. al-Kahfi:74)


Di dalam syariat, zakat ialah sedekah wajib dari sebagian harta. Sebab dengan mengeluarkan zakat maka pelakunya akan tumbuh (mendapat kedudukan tinggi) di sisi Allah SWT dan menjadi orang yang suci dan disucikan. Makna yang demikian ini diisyaratkan oleh firman Allah,


Ambillah sedekah dari harta mereka agar menyucikan dan membersihkan mereka.

(QS. at-Taubah: 103)


Wajibnya Zakat

Zakat adalah wajib secara pasti (dharurah) dalam agama, sama persis seperti shalat, dimana pengingkarnya dianggap telah keluar dari Islam. Oleh karena itu Allah SWT, di dalam banyak ayat Al-Qur'an, seringkali menggandengkannya dengan Shalat. Di antaranya ialah firman-Nya,


Dirikanlah Shalat dan keluarkanlah zakat...... Jika mereka bertobat lalu mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, maka bebaskanlah mereka...... Dan mereka tidak diperintah kecuali agar beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama ini hanya untuk-Nya, dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat..... Telah beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang khusyuk di dalam shalat mereka, dan yang memalingkan diri dari hal-hal yang tak berguna, dan yang menunaikan zakat.... dan ayat-ayat lain.

Imam Shadiq a.s berkata, "Sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi para fukara harta yang dapat mencukupi hidup mereka di dalam harta orang-orang kaya. Jika Allah tahu bahwa hal itu tidak mencukupi, tentu Allah akan menambahnya. Mereka menjadi fukara bukan karena tidak ada bagian dari Allah untuk mereka, tetapi karena orang-orang (kaya) itu tidak mau memberikan hak para fukara tersebut. Seandainya setiap orang (kaya) menunaikan kewajiban mereka, maka mereka (para fukara) akan hidup dengan baik".

Riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kefakiran datangnya dari bumi, bukan dari langit, dari keazaliman manusia yanh satu terhadap yang lain, bukan dari Allah yang Maha Agung lagi Maha Bijaksana.

Ayah beliau,  Imam Baqir as,  berkata, "Allah SWT tidak meminya shalat selain shalay fardhu, tidak sedekah selain zakat, dan tidak puasa selain puasa Ramadhan."

Membicarakan zakat, maka mula-mula yang harus dibahas adalah tentang orang yang berkewajiban zakat. Kedua, tentang hal-hal yang wajib dizakati. Ketiga, tentang orang-orang yang berhak menerimanya.


Orang yang berkewajiban zakat

Disyaratkan pada orang yang wajib mengeluarkan zakat hal-hal berikut ini:

Balig. Maka tidak wajib zakat bagi mereka yang belum balig. Yunus bin Ya'kub berkata, "Saya menulis surah kepada Imam as bahwa saya mempunyai saudara-saudara yang masih kecil-kecil. Kapankah kewajiban zakat berlaku pada harta mereka? Beliau menjawab, "Jika mereka telah berkewajiban shalat maka zakat pun wajib pada mereka."

Beliau juga berkata, "Tidak ada zakat pada harta anak yatim, dan tidak ada kewajiban shalat atasnya. Juga tidak ada zakat pada seluruh tumbuh-tumbuhan miliknya, seperti kurma, kismis, dan gandum. Jika seorang yatim telah mencapai balig maka dia tidak berkewajiban mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang lalu, dan tidak untuk tahun-tahun yang akan datang sampai dia balig. Jika dia sudah balig maka dia berkewajiban satu kali zakat (setahun) sebagaimana orang-orang lain yang telah berkewajiban zakat."


Berakal. Penulis jawahir menyatakan bahwa kebanyakan fukaha berpendapat bahwa hukum orang yang gila sama dengan hukum anak kecil pada semua hal yang disebutkan diatas (bahwa tidak ada kewajiban zakat atasnya). Kemudian beliau berkata, "Yang demikian ini adalah sangat sulit. sebab tidak ada dalil yang dapat dijadikan sandaran untuk menyamakan hukum keduanya itu, kecuali mushadarat dimana tidak sepatutnya seorang fakih berpegang padanya."( tidak benar berdalil untuk meniadakan zakat dari harta anak kecil dan orang gila dengan hadist, "Pena telah diangkat dari anak kecil sampai dia balig, dan dari orang gila sampai dia sembuh." Sebab, hadist ini hanya meniadakan dosa dan hukum taklifi, bukannya hukum wadh'i, yakni tetapnya zakat pada harta orang gila dan anak kecil. Dengan demikian, kita harus menghiting permulaan haul (masa setahun), yang akan kita bicarakan nanti, dari saat harta mencapai nisab, bukan dari saat balig pada anak kecil atau dari saat sembuh pada orang gila).


Harta tersebut harus merupakan hak penuh bagi pemiliknya di mana dia dapat membelanjakannya (menggunakannya). Oleh karena itu tidak ada zakat pada harta hadiah sebelum diterima oleh penerimanya. Demikian pula harta, hutang, maghsub (yang masih dirampas orang), yang digadaikan, harta yang penggunaannya (mahjur), dan harta yang tidak ada di tempat, sampai semua itu sidah dikuasai secara penuh dan bisa dibelanjakan.


Imam Shadiq as berkata, "Tidak ada sedekah pada hutang dan harta yang tidak ada padamu, sampai ia telah jatuh ke tanganmu."  Zurarah bertanya kepada beliau tentang seorang yang hartanya tidak ada bersamanya dan dia tidak mampu mengambilnya. Beliau menjawab,"Tidak ada zakat padanya, sampai ia sudah mendapatkannya kembali. Bila sudah demikian maka dia menzakatinya untuk satu tahun."


Zakat tidak dikenakan pada harta hutang tanpa ada perbedaan apakah pemiliknya mampu mengambil dan mendapatkannya kapan saja ataukah tidak mampu, sebagaimana yang masyhur di antara fukaha mutakhir menurut kesaksian penulis kitab Hada'iq.

Jika seseorang meminjam harta dari orang lain sejumlah nisab, seperti dua puluh dinar, apakah zakatnya wajib atas orang yang berpiutang, yaitu pemilik harta tersebut atau yang berpiutang?

Jawab:

Dilihat, jika orang yang berhutang membelanjakan uangnya sebelum lewat masa satu tahun maka tidak ada kewajiban apapun atasnya. Jika harta tersebut dia simpan saja tanpa ia belanjakan sama sekali sampai lewat satu tahun maka zakat wajib atasnya (orang yang berhutang), sebab harta tersebut berada di bawah kekuasaannya dan dapat ia manfaatkan kapan saja ia kehendaki. Imam Shadiq as ditanya tentang orang yang memberi hutang kepada orang lain: Atas siapakah kewajiban zakatnya? Apakah ayas berpiutang atau atas yang berhutang? Imam as menjawab, "Zakatnya wajib atas orang yang berhutang jika harya itu ada padanya selama setahun.


Non Muslim


Para fukaha sepakat bahwa selain muslim juga terbebani dan wajib mengamalkan furu' ad-din (hukum-hukum syariat--pent) sebagaimana juga mewajibkan ushul (akidah—pent ). Salah satu yang terpenting dari furu' ialah zakat. Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya,


(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat (QS. Fushshilat: 7)


Mereka juga bersepakat bahwa ibadah dengan segala macam bentuknya itu tidak sah dari seorang non- muslim, sebab niat takarub kepada Allah merupakan syarat sahnya suatu ibadah, sedangkan Allah SWT tidak menerima niat tersebut kecuali dari orang yang beriman kepada-Nya dan kepada semua kitab dan rasul-Nya tanpa membeda-bedakan satu kitab dari kitab yang lain dan satu rasul dari rasul yang lain.

Tidak ada pertentangan antara kewajiban ibadah atas non- Muslim dengan tidak sahnya ibadah tersebut kecuali dengan iman. Sebab iman adalah syarat wujud, bukan syarat wujub, dan sebagai prasyarat untuk melaksanakan kewajiban. Sedangkan dia mampu untuk beriman, melakukan shalat dan zakat. Maka, jika ia tetap kufur dan ingkar, berarti ia telah bermaksiat dengan kehendaknya dan pilihannya sendiri. Oleh karena itu, benarlah jika Allah menghukum dan menyiksanya.

Para fukaha juga bersepakat, sebagaimana dikatakan oleh penulis Mishbah al-Faqih, bahwa jika seseorang masuk Islam maka kewajiban zakat (pada tahun-tahun yang lalu) gugur darinya, sebagaimana juga shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadist, "Islam menghapus segala yang sebelumnya".


Syaikh Hamadani, di dalam kitab Mishbah al-Faqih, dan Sayid Hakim, di dalam kitab Mustamsak, berkata bahwa zakat gugur dari seorang kafir begitu dia masuk Islam, sama persis dengan shalat. Para fukaha sepakat dengan hal ini. Hal inipun diketahui dan diyakini sebagai kebiasaan Nabi dan keluarga beliau yang mulia, dimana tidak pernah diketahui bahwa mereka mewajibkan sesuatu dari kewajiban-kewajiban ini atas orang yang masuk Islam.


Harta benda yang Wajib dizakati


Dua Imam, Imam Baqir as dan Imam Shadiq as, berkata, "Allah mewajibkan zakat pada harta bersamaan dengan Shalat. Dan Rasulullah saw memberlakukannya pada sembilan macam harta dan membebaskan yang lainnya. Sembilan macam harta itu ialah: (1) emas, (2) perak, (3) onta, (4) sapi, (5) kambing, (6) dan (7) hinthah dan sya'ir (keduanya adalah jenis gandum), (8) kurma, (9) kismis. Rasulullah saw membebaskan (tidak mewajibkan zakat pada) selain sembilan tersebut."

Imam Baqir as, ayah Imam Shadiq as, berkata, “Tanaman-tanaman yang tumbuh di bumi seperti padi, jagung, himi (sejenis kacang) dan adas serta biji-bijian lain dan buah-buahan tidak terkena zakat kecuali empat macam tanaman tadi, walaupun harganya tinggi. Tetapi, jika dia berubah menjadi emas dan perak (dijual dengannya) maka dia pun terkena zakat setelah lewat masa satu tahun.”

Imam Shadiq as ditanya tentang zakat, maka beliau berkata, "Rasulullah saw meletakkan zakat pada sembilan dan membebaskan selainnya. Yang sembilan itu ialah hinthah dan sya'ir, kurma, kismis, emas, perak, onta, sapi, dan kambing.." Orang tadi bertanya lagi, "Bagaimana dengan jagung?" Imam marah dan berkata, "Demi Allah! Pada masa Rasul sudah ada simsim (wijen), jagung, dukhn (biji-bijian untuk makanan burung), dakhn (sejenis bijian yang bisa dimakan) dan semua itu. Si penanya berkata, "Mereka mengatakan bahwa pada masa Rasulullah saw tidak ada selain sembilan hal itu." Beliau marah dan berkata, "Mereka telah berdusta. Tidak mungkin sesuatu dibebaskan (tidak diwajibkan zakat padanya) kecuali sesuatu itu sudah ada. Demi Allah! saya tidak mengetahui sesuatu dikenai zakat selain yang sembilan itu. Siapa yang ingin menerima silahkan dan siapa yang ingin kufur (ingkar) silahkan."

Fukaha: Zakat diwajibkan pada binatang, tanaman, dan mata uang tertentu. Jumlah keseluruhannya ada sembilan, sebagaimana tersebut dalam ucapan dua Imam as tadi, yaitu: onta, sapi, dan kambing (dari binatang); hinthah, sya'ir, korma, dan kismis (dari tumbuhan); emas dan perak (dari mata uang). Selain hal-hal tersebut disunahkan pada zakat, tidak wajib. Mereka berdalil dengan riwayat yang telah kami sebutkan dan riwayat-riwayat lain yang semakna.

Adapun selain yang sembilan ini disinahkan padanya zakat, bukannya wajib; yaitu segala sesuatu yang ditakar dan ditimbang seperti biji-bijian selain hinthah dan sya'ir, yaitu himis (sejenis kacang), padi dan adas; serta buah-buahan seperti apel dan misy-misy; tetapi tidak termasuk daun- daunan dan sayur- sayuran . Juga disinahkan pada harta dagangan dan pada kuda betina, bukan yang jantan, dan bilan pula bighal (kuda dawuk) dan himar (keledai). Juga tanah hal milik yang menghasilkan dan disewakan, seperti kebun-kebun, toko-toko, bangunan-bangunan yang untuk dikontrakkan sebab semua itu termasuk harta dagangan.

Dalil yang menunjukkan bahwa hal-hal tersebut disunahkan untuk dizakati ialah riwayat-riwayat dari Ahlulbait as yang secara lahir menunjukkan kewajiban zakat padanya, akan tetapi para fukaha memahaminua sebagai sunah saja. Mereka mengatakan bahwa yang dimaksid dengan ketetapan zakat pada hal-hal tersebut ialah sunah saja., bukan wajib. Hal ini sebagai kesimpulan dari penggabungan antara riwayat-riwayat tersebut dengan riwayat-riwayat yang menekankan kewajiban zakat hanya pada yang sembilan itu dan meniadakan yang selainnya. Para fukaha telah sepakat dan masyhur dikalangan mereka bahwa jika terdapat dua dalil, yang satu menetapkan kewajiban itu sebagai menunjukkan kewajiban, atau dengan kata lain mereka membiarkannya sesuai dengan makna lahirnya, sedangkan riwayat yang meniadakan kewajiban itu mereka pahami sebagai menunjukkan kesunahan saja. Bahkan uang demikian ini telah menjadi semacam kaidah umum pada mereka di dalam setiap persoalan fiqih, sebagaimana dikatakan oleh penulis Hada'iq pada permulaan kitabnya, Jilid V, Bab Zakat . Dengan demikian maka cara ini mirip dengan penggabungan 'urfi (al-jam'u al-'urfi), seperti pemberlakuan (dalil) yang umum sesuai dengan (dalil) yang khusus, atau yang mutlak sesuai dengan muqayyad; bukan penggabungan syat'i (al-jam'u asy-syar'i) yang memerlukan dalil ketiga yang memisahkan dan memilah-milah sasaran hukum masing-masing. Dalil ketiga ini mengkhususkan riwayat yang meniadakan kewajiban pada sasaran lain. Demikian pula jika ada satu dalil yang mengharamkan sesuatu, sementara dalil lain meniadakan pengharaman tadi, maka dalil yang mengharamkan tetap tidak berubah, sedangkan dalil yang meniadakan pengharaman itu diarahkan pada makna makruh.

Karena pada setiap jenis binatang, tanaman, dan mata uang itu doberlakikan syarat-syarat khusus, selain syarat-syarat yang telah kami sebutkan, bagi orang-orang yang berkewajiban zakat, maka haruslah kita pisahkan secara tersendiri pula pembahasan untuk tiap jenis harta yang wajib dizakati itu.



































ZAKAT TERNAK


Onta

Imam Shadiq as berkata, “Tidak ada zakat pada onta yang jumlahnya kurang dari lima ekor. Jika sudah lima ekor maka zakatnya seekor kambing, sampai jumlahnya mencapai sepuluh ekor. Jika sudah sepuluh ekor maka zakatnya ialah dua ekor kambing. Jika lima belas ekor, maka zakatnya ialah tiga ekor kambing. Jika jumlahnya dua puluh ekor maka zakatnya ialah empat ekor kambing. Jika 25 ekor, maka zakatnya ialah lima ekor kambing. Jika bertambah satu lagi (26 ekor) maka zakatnya seekor bintu makhadh (Onta betina yang umurnya masuk tahun kedua—pent), sampai onta berjumlah 35 ekor. Jika dia tidak mendapatkan bintu makhadh maka dia boleh mengambil ibn labun (Onta jantan yang masuk umur tiga tahun—pent). Jika ontanya bertambah satu lagi (menjadi 36 ekor) maka zakatnya bintu labun (Onta betina yang masuk umur tiga tahun—pent), sampai jumlahnya menjadi 45. Maka jika bertambah seekor lagi (menjadi 46 ekor) maka zakatnya seekor huqqah (Onta betina yang masuk umur empat tahun—pent). Onta ini dinamai huqqah  karena dia sudah boleh dinaiki dipunggungnya. Demikian sampai onta mencapai jumlah enam puluh ekor. Jika bertambah satu lagi (menjadi 61 ekor) maka zakatnya ialah seekor jadz’ah (Onta betina yang masuk umur lima tahun—pent), sampai dia berjumlah 75 ekor. Jika bertambah seekor lahi (menjadi 76 ekor) maka zakatnya ialah dua ekor bintu labun, sampai dia berjumlah sembilan puluh ekor. Jika bertambah seekor lagi (menjadi 91 ekor) maka zakatnya ialah dua ekor huqqah , sampai dia berjumlah 120 ekor. Jika bertambah seekor lagi (menjadi 121 ekor) maka untuk setiap lima puluh ekor zakatnya adalah seekor huqqah , dan untuk setiap empat puluh ekor zakatnya adalah seekor bintu labun.

Fukaha: Nisab onta ada dua belas:

5 ekor, zakatnya 1 ekor kambing. Tidak ada zakat jika jumlah onta kurang dari 5 ekor.

10 ekor, zakatnya 2 ekor kambing. Tidak ada zakat pada kelebihan dari 10 ekor ini sampai dia berjumlah 15 ekor.

15 ekor, zakatnya 3 ekor kambing. Tidak ada zakat padanya sampai dia berjumlah 20 ekor.

20 ekor, zakatnya empat ekor kambing.

25 ekor, zakatnya 5 ekor kambing. Jumlah ini berasal dari satu ekor untuk setiap lima ekornya, sebagaimana yang dapat anda lihat.

26 ekor, zakatnya 1 ekor bintu makhadh.

36 ekor, zakatnya 1 ekor bintu labun.

46 ekor, zakatnya 1 ekor huqqah.

61 ekor, zakatnya 1 ekor jadz’ah.

76 ekor, zakatnya 2 ekor bintu labun.

91 ekor, zakatnya 2 ekor huqqah.

121 ekor, maka setiap 50 ekor zakatnya ialah 1 ekor huqqah, dan setiap 40 ekor zakatnya ialah 1 ekor bintu labun. Maksudnya, si muzakki (pembayar zakat) memilih manakah yang lebih baik untuk para fukara. Jika onta berjumlah 121 ekor, maka dia membaginya menjadi tiga bagian, masing-masing 40-an ekor. Berart, dia mengeluarkan 150 ekor, maka dia membaginya menjadi tiga, masing-masing 50 ekor. Berarti, dia harus mengeluarkan 3 ekor huqqah, yang lebih besar dibanding bintu labun. Sedangkan jika jumlah onta itu bisa dibagi dengan keduanya (50-an atau 40-an), dan maslahat untuk para fukara juga sama, seperti jika onta berjumlah 200 ekor, maka dia boleh memilih antara membaginya dengan 40-an—berarti dia mengeluarkan 4 ekor huqqah. Yang demikian ini jika harga 5 ekor bintu labun sama dengan 4 ekor huqqah. Jika tidak maka dia memilih mana yang lebih mengandung maslahat bagi para fukara.

Sapi

Imam Baqir as dan Imam Shadiq as berkata, “Pada setiap tiga puluh ekor sapi, zakatnya ialah seekor tabi’hauli (Anak sapi masuk umur dua tahun). Jika sapi kurang dari jumlah tersebut maka tidak ada kewajiban zakat padanya. Setiap empat puluh ekor sapi, zakatnya seekor musinnah (anak sapi yang masuk umur tiga tahun). Tidak ada kewajiban zakat pada jumlah sapi antara tiga puluh dan empat puluh ekor. Jika sudah mencapai empat puluh ekor, maka zakatnya ialah seekor musinnah. Tidak ada zakat pada jumlah sapi antara empat puluh dan enam puluh ekor. Jika sudah mencapai enam puluh ekor, maka zakatnya ialah dua ekor tabi’ (Anak sapi yang masuk umur tiga tahun), sampai jumlahnya mencapai tujuh puluh ekor. Jika sudah mencapai tujuh puluh ekor, maka zakatnya ialah seekor tabi’ dan seekor musinnah, sampai jumlahnya delapan puluh ekor. Jika sudah mencapai delapan puluh ekor, maka zakatnya ialah seekor musinnah untuk setiap empat puluh ekor, sampai jumlah sembilan puluh ekor. Jika sudah mencapai sembilan puluh ekor, maka zakatnya ialah tiga ekor tabi’. Jika sudah mencapai 120 ekor, maka untuk setiap empat puluh ekor sapi dikenakan zakat seekor musinnah.”

Fukaha: Riwayat diatas telah disepakati untuk diamalkan, dan dia lebih jelas daripada ucapan para fukaha. Salah satu rumusan fukaha, “Sapi memiliki dua nisab, yaitu tiga puluh ekor, dimana zakatnya ialah seekor tabi’ atau tabi’ah, empat puluh ekor, dimana zakatnya ialah seekor musinnah. Demikianlah seterusnya.”

Jadi, rinciannya begini: Dari setiap 30 ekor sapi, zakatnya 1 ekor yang sudah memasuki tahun kedua. Tidak ada kewajiban zakat pada jumlah yang kurang dari itu. Umpamanya seseorang memiliki 30 ekor sapi kurang seperempat atau kurang satu qirat, maka tidak ada kewajiban zakat padanya. Selanjutnya, dari setiap 40 ekor maka zakatnya 1 ekor yang sudah memasuki tahun ketiga. Jika 60 ekor, maka zakatnya ialah 2 ekor tabi’. Jika 70 ekor, maka zakatnya ialah 1 ekor musinnah dan 1 ekor tabi’ , yakni 1 ekor musinnah untuk 40 ekor dan 1 ekor tabi’ untuk 30 ekor. Jika 80 ekor maka zakatnya ialah 2 ekor musinnah, sebab dari 40 ekor zakatnya 1 ekor musinnah. Jika 90 ekor, maka zakatnya 3 ekor tabi’, yakni untuk setiap 30 ekor dekenakan 1 ekor tabi’. Jika 100 ekor sapi maka zakatnya ialah 1 ekor musinnah dan 2 ekor tabi’, yakni 1 ekor musinnah untuk 40 ekor dan 2 ekor tabi’ untuk 60 ekor. Jika 110 ekor, maka zakatnya ialah 2 ekor musinnah—untuk 80 ekor—dan 1 ekor tabi’—untuk 30 ekor. Jika 120 ekor, maka si pemilik boleh memilih antara 3 ekor musinnah , yang diambil dari 40-an, atau 4 ekor tabi’, yang diambil dari 30-an. Demikian seterusnya. Tidak ada kewajiban apapun jika jumlah sapi berada di antara dua nisab.

Sedangkan kerbau seperti sapi, hukum keduanya sama, sebab keduanya dari satu keluarga. Imam Baqir as pernah ditanya tentang kerbau: Apakah dia harus dizakati? Beliau menjawab, “Sama seperti yang berlaku pada sapi.”

Kambing

Imam Shadiq as berkata, “ Setiap empat puluh ekor kambing, zakatnya ialah seekor kambing. Jika kurang dari empat puluh maka tidak ada zakat padanya. Sampai dengan 120 ekor, zakatnya masih sama, yaitu seekor kambing. Jika lebih dari 120 ekor, maka zakatnya dua ekor kambing. Sampai 200 ekor, zakatnya masih sama, yaitu dua ekor kambing. Jika bertambah satu ekor lagi (menjadi 201 ekor) maka zakatnya tiga ekor kambing. Sampai tiga ratus ekor, zakatnya masih sama, yaitu tiga ekor. Jika bertambah satu ekor lagi (menjadi 301 ekor) maka zakatnya menjadi empat ekor kambing, hingga mencapai empat ratus ekor. Jika sudah genap empat ratus ekor maka tiap seratus ekor, zakatnya seekor kambing, dan gugurlah aturan yang pertama—yaitu lebihnya kambing dari seratus.”

Fukaha: Kambing memiliki lima nisab:

40 ekor, zakatnya 1 ekor kambing

121 ekor, zakatnya 2 ekor kambing

201 ekor, zakatnya 3 ekor kambing

301 ekor, zakatnya 4 ekor kambing

400 ekor dan seterusnya, maka tiap 100 ekor, zakatnya ialah 1 ekor kambing.

Jumlah diantara dua nisab tidak terkena zakat



Kambing kacang (ma’iz) sama hukumnya dengan kambing domba (ghanam), sebab keduanya dari satu keluarga. Hanya saja, kambing jadza’ dari jenis ghanam, yaitu yang telah berumur satu tahun dan masuk tahun kedua, sebanding dengan tsani dari jenis ma’iz, yaitu telah berumur dua tahun dan masuk tahun ketiga. Karena itu barang siapa memiliki lima ekor onta dan akan mengeluarkan zakatnya, cukup baginya mengeluarkan jad’za dari jenis ghanam sebagai zakat. Adapun dari jenis ma’iz maka tidak mencukupi selain tsani.

Seorang yang hendak mengeluarkan zakat tidak harus mengambilnya dari nisab. Dia boleh mengambil dari situ atau membelinya dari tempat lain dan mengeluarkannya sebagai zakat, atau juga dia boleh membayar dengan uang seharga zakatnya itu, dengan syarat harga itu tidak lebih rendah dari harga pertengahan. Jika dia memberi harga dengan lebih tinggi, maka itu lebih baik baginya. Para fukaha berdalil atas kebolehan hal diatas, bahwa seseorang pernah bertanya kepada Imam Shadiq as, “Bolehkah aku mengeluarkan zakat tanaman hinthah dan sya’ir  serta zakat emas dan perak dengan uang dirham yang sama nilainya dengan jumlah zakatnya? Ataukah tidak boleh kecuali harus dari harta yang dizakati itu sendiri?” Imam menjawab, “Keluarkanlah yang mana yang mudah bagimu”.

Syarat-syarat lain pada Binatang Ternak

Wajibnya zakat pada binatang ternak yang tiga tersebut tidak hanya dengan terpenuhinya syarat nisab dan jumlah sebagaimana yang telah kami sebutkan di muka. Untuk itu, masih ada tiga syarat lagi, selain syarat nisab.

Pertama, Gembalaan. Maksudnya bahwa setiap ekor dari binatang ternak yang tercakup di dalam nisab itu haruslah hidup dengan diberi makan di padang gembalaan alami, bukan diberi makan dengan di dalam kandang. Jika dia termasuk ternak yang diberi makan di dalam kandang, maka dia terkena zakat, berdasarkan ijma dan nas. Di antaranya ialah ucapan Imam as, “Ternak yang diberi makan di dalam kandang tidak terkena zakat. Zakat hanya berlaku pada ternak yang pada tahun itu digembalakan di padang gembalaannya. Adapu selain itu maka tidak berlaku padanya zakat.”

Kedua: Tidak dipekerjakan. Maksudnya bahwa binatang tersebut tidak dimanfaatkan untuk kerja. Jika dia digunakan untuk ditunggangi atau untuk membajak sawah, atau untuk mengangkut, maka gugurlah zakat darinya berdasarkan ijmak dan nas. Diantaranya ialah ucapan Imam as, “Binatang yang bekerja tidak dikenai zakat sama sekali.” Adapun riwayat-riwayat yang bertentangan dengan riwayat ini dianggap syadz (menyimpang) dan ditinggalkan.

Ketiga: Berlalunya masa satu tahun dimulai dari saat dia tidak lagi menyusu induknya dan hanya memamkan rumput, bukan dari hari di mana dia dilahirkan, menurut pendapat yang masyhur.

Begitulah secara ringkas syarat-syarat pada zakat ternak, yaitu nisab, gembalaan, tidak dipekerjakan, dan masa satu tahun. Tidak ada syarat lain lagi. Jika salah syarat tersebut tidak terpenuhi pada suatu waktu di tengah masa satu tahun, maka batallah syarat masa satu tahun itu dan gugur pula kewajiban zakat, misalnya jika jumlahnya berkurang dari nisab, atau si pemilik mengganti sebagian binatangnya, atau dia pekerjakan atau ditunggangi, atau untuk membajak, atau mengangkut, atau diberi makan selama beberapa bulan atau beberapa minggu sehingga keluar dari nama gembalaan.

Jika dua orang bersama-sama (patungan) memiliki sejumlah binatang ternak dimana jumlah keseluruhan mencapai nisab, maka tidak ada kewajiban zakat kecuali jika bagian setiap orang itu telah mencapai nisab. Walaupun tempat gembalaannya, tempat minumnya, tempat memerah susunya, dan pejantannya semua menjadi satu. Jika seseorang memiliki ternak dibeberapa tempat maka nisab disyaratkan pada jumlah keseluruhan ternak yang ia miliki, walaupun satu sama lain saling berjauhan dan di masing-masing tempat belum mencapai nisab. Dengan kata lain, yang menjadi ukuran ialah satunya pemilik nisab walaupun tempatnya berbeda-beda, bukan satunya nisab (digabungnya banyak ternak sehingga mencapai satu nisab) dengan pemilik yang berbeda-beda. Dengan demikian itulah kita menafsirkan ucapan Imam Shadiq as “Tidak dikumpulkan(untuk membentu satu nisab) dan tidak dipisahkan (tetap dianggap satu walaupun tempatnya berbeda-beda) ternak tergabung (pada satu pemilik).”
























ZAKAT EMAS DAN PERAK


Emas

Imam Shadiq as  berkata, "Pada setiap dua puluh dinar emas, zakatnya ialah setengah dinar. Jika kurang daripada itu maka tidak ada zakat.”

Imam Baqir as dan Imam Shadiq as berkata, “Emas yang kurang dari dua puluh dinar mitsqal tidak terkena zakat. Jika sudah sempurna mencapai dua puluh mitsqal maka zakatnya ialah setengah mitsqal , dan tetap demikian sampai zakatnya 24 mitsqal . Jika sudah 24 maka zakatnya ialah tiga perlima dinar, dan tetap demikian sampai 28. Dengan perhitungan itulah setiap kali emas bertambah empat."

Fukaha: Riwayat- riwayat dari Ahlul bait as kadang-kadang menggunakan dinar, tapi kadang juga menggunakan mitsqal. Hal ini menunjukkan bahwa dinar itu sama dengan mitsqal pada masa mereka. Dan lebih dari satu fukaha zaman ini berkata bahwa satu dinar sama dengan setengah lira emas Utsmaniyah.

Bagaimanapun juga, mata uang emas mempunyai dua nisab. Pertama adalah 20 dinar, dimana zakatnya ialah setengah dinar, atau 2,5 %. Jika kurang dari 20 maka tidak ada zakat, walaupun telah lewat masa satu tahun penuh. Sedangkan nisab kedua adalah 24 dinar. Berarti jumlah yang kurang dari empat, setelah dua puluh, tidak terkena zakat. Jika sudah mencapai 24, maka zakat yang dikeluarkan ialah 2,5 % (24 dinar x 2,5% ), yaitu tiga perlima dinar, sebagaimana dikatakan oleh Imam as. Jika emas itu bertambah lagi dari 24, maka tidak ada zakat pada kelebihan sampai emas tersebut berjumlah 28 dinar. Jika sudah berjumlah 28 maka zakatnya dihitung dengan cara sebagaimana tersebut diatas (yaitu dikalikan 2,5%). Demikian diisyaratkan pertambahan 4 dinar untuk setiap kewajiban zakat berikutnya.


Perak

Imam as berkata, "Jika kurang dari 200 dirham maka tidak ada zakat, demikian pula kelebihannya (kelebihan dari dua ratus) hingga (kelebihan tersebut) mencapai empat puluh, maka zakat (dari empat puluh itu) adalah satu dirham.

Fukaha: Mata uang perak memiliki dia nisab. Pertama, 200 dirham, maka zakatnya ialah 5 dirham, yaitu 2,5%. Sedangkan yang kurang dari 200 dirham tidak terkena zakat. Nizab kedua ialah 40 dirham (setelah 200) . Berarti jumlah yang kurang dari 40, setelah 200, tidak terkena zakat. Jika seluruhnya telah mencapai 240 maka zakatnya dikeluarkan setelah dikalikan 2,5%. Demikian diisyaratkan bahwa setiap kelebihan harus mencapai 40. Dan zakatnya dihitung dengan cara sebagaimana disebutkan di atas.


Syarat-syarat

Harus pula ditambahkan dua syarat lagi, selain nisab, pada zakat emas dan perak ini.

Pertama, hendaknya dia merupakan mata uang resmi (maskukah atau yang dicetak atau dicap) , sebagaimana ditunjukkan oleh kata nadqain itu sendiri, yang digunakan dalam hadis-hadis, yang berarti dua mata uang. Karena itu, tidak wajib pada zakat emas atau perak lempengan, demikian pula perhiasan dan cincin, dan yang digunakan sebagai penghias pedang atau mushaf dan sebagainya. Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Shadiq as, "Dirumahku terkumpul (sesuatu) yang tinggi harganya, dan telah ditanganku sekitar satu tahun. Apakah harus menzakatinya?" Imam berkata, "Segala sesuatu yang belum lewat satu tahun maka tidak ada kewajiban zakat padanya. Demikian pula yang bukan rikaz tidak terkena zakat." Orang tersebut bertanya,"Apakah rikaz itu?" Beliau menjawab, "Rikaz ialah emas atau perak yang dicap (sebagai mata uang). Jika kamu mau leburlah dia. Emas dan perak yang dilebur tidak terkena zakat."

Kedua, lewat masa satu tahun pada mata uang emas dan perak tersebut tanpa berkurang (dari nisab) dan tidak berganti dengan yang lainnya, serta tidak dilebur. Masa satu yahun menjadi genap dengan masuknya bulan kedua belas. Imam as pernah ditanya tentang seseorang yang mempunyai 199 dirham. Uang itu ada padanya sampai sebelas bulan. Kemudian dia mendapat satu dirham lagi pada bulan dua belas, dan genaplah uangnya menjadi dua ratus dirham. Apakah dia berkewajiban mengeluarkan zakat? Imam menjawabnya, " Tidak. Sampai datang satu tahun lagi sementata uang itu berjumlah dua ratus dirham."


Masalah-masalah

Jika seorang mempunyai mata uang emas dan mata uang perak, di mana masing-masingnya belum mencapai nisab, tetapi jika satu dengan yang lain digabungkan maka keseluruhannya akan mencapai nisab, maka dalam keadaan demikian tetap belum terkena zakat, sebab diisyaratkan masing-masing emas dan perak itu mencapai nisab sendiri-sendiri.


Disyaratkan di dalam nisab itu kemurnian emas atau perak dari segala macam campuran, bukan sembarang mata uang emas atau perak. Jika seseorang mempunyai uang emas atau perak yang masing-masingnya telah mecapai nosab atau lebih, akan tetapi tercampur dengan selain emas dan perak, maka: apabila yang murninya mencapai nisab maka terkena zakat; bila tidak, maka tidak.


Jika seseorang ragu apakah uang yang ia miliki telah mencapai nisab, sehingga terkena zakat, ataukah tidak, maka berlakulah kaedah ashl al-bara'ah, dan dia tidak perlu mencari tahu, sebab yang demikian itu adalah syubhah maudhu'iyah (ketidakjelasan pada obyek hukum), bukan syubah hukmiyah (ketidakjelasan pada hukum). Kecuali jika dia tahu bahwa nisab sudah tercapai tetapi dia ragu (tidak tahu pasti) tentang jumlah itu sendiri, maka dia harus mencari tahu kalau bisa; jika tidak maka dia harus ber-ihtiyath. Sebab jika seseorang mengetahui adanya suatu kewajiban padanya, maka pengetahuannya itu menurut pelaksanaan kewajiban tersebut sehingga dia tahu dengan pasti bahwa dia telah lepas dari kewajiban tadi.


Seluruh atau sebagian besar fukaha zaman sekarang mengatakan bahwa harta, jika berupa uang kertas sebagaimana yang ada sekarang, maka tidak ada kewajiban zakat padanya. Hal ini karena mereka berhenti pada arti lahiriah nas yang menggunakan kata naqdain , yaitu mata uang emas atau perak. Kami tak sependapat dengan mereka ini. Kami mengeneralkan untuk setiap yang disebut harta dan mata uang. Sedangkan naqdain di dalam ucapan Ahlulbait merupalan wasilah saja, bukan tujuan, sebab hanya keduanyalah (emas dan perak) mata uang yang ada pada mereka. Hal ini bukan termasuk qiyas yang haram. Sebab mafhum dan hakikat qiyas ialah penyimpulan hukum berdasarkan 'illah (alasan hukum) yang diperkirakan saja, bukan yang diketajui dengan pasti. Yang demikian itu dilarang, sebab perkiraan (zhan) tidak mendatangkan kebenaran sama sekali. Sedangkan kita dalam masalah ini mengetahui dengan yakin bahwa 'illah  zakat di dalam naqdain  juga ada dan terdapat dalam uang kertas. Kita tahu dengan pasti bukan perkiraan. Maka hal ini sama seperti 'illah yang mashushah (yang disebutkan dalam nash--penl.) atau lebih kuat. Dengan demikian, hal ini termasuk  tangih al-manath, bukan qiyas yang berdasarkan perkiraan yang telah disepakati sebagai tidak boleh diamalkan.
































ZAKAT TANAMAN


Telah kita sebutkan bahwa zakat wajib pada gandum dengan kedua jenisnya, yakni sya'ir dan hinthah, serta kurma dan kismis. Sedangkan yang selain itu, yaitu tanaman yang tumbuh di bumi, selain sayur-sayuran, hukumnya sunah dizakati. Untuk kewajiban zakat ada empat macam tanaman di atas disyaratkan adanya dua hal, sampai nisab yang dimiliki.


Nisab

Imam Baqir as, ayah Imam Shadiq as, berkata, " Tanaman gandum, kurma dan kismis, jika mencapai lima wusq--dan satu wusq sama dengan enam puluh sha', berarti lima wusq sama dengan tiga ratus sha'--maka zakatnya ialah sepersepuluh. Tanaman yang diairi dengan alat-alat seperti tali, timbah dan binatang penarik, maka zakatnya ialah seperdua puluh. Sedangkan yang disirami oleh hujan dan aliran air maka zakatnya adalah sepersepuluh. Tidak ada zakat pada yang kurang dari tiga ratus sha' dan tidak pada tanaman selain uang empat macam ini."

Jika dihitung dengan kilogram maka nisab sempurna mencapai sekitar 910 kilogram. Jika kurang dari itu maka tidak ada zakat. Sedangkan jika sudah mencapai nisab maka wajib dizakati.


Dimiliki

Menurut fukaha, seseorang wajib menunaikan zakat empat macam tanaman ini jika telah mencapai nisab dan, pada waktu yang sama, hendaklah pokok-pokok pohon tersebut merupakan miliknya sebelum hasilnya terkena kewajiban zakat, yaitu sebagaimana dia sendiri yang menanam, atau apabila tanaman dan pohon tersebut berpindah menjadi miliknya sebelum terbentuknya biji dan berbuah. Adapun jika seseorang membeli atau menerima pemberian berupa tanaman gandum atau anggur setelah tampak hasilnya, di mana hasil tanaman tersebut tampak ketika masih menjadi milik orang lain, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya, sebagaimana tidak wajib seorang yang memberi anggur lalu mengeringkannya hingga menjadi kismis. Hal ini menjadi kesepakatan fukaha.

Kebanyakan fukaha mengatakan bahwa empat tanaman ini terkena kewajiban zakat ketika hasilnya sudah nampak baik; yaitu ketika biji gandum sudah mengeras, dan buah kurma sudah memerah atau menguning, dan bunga anggur sudah menjadi buah muda. Sementara pengeluatan zakat belum wajib kecuali setelah mengering dan telah benar-benar sempurna. Sedangkan menurut pendapat kami, zakat tidak terdapat pada tanaman yang mana pun sampai ketika biji gandum bisa dibilang gandum, dan buah kurma sudah bisa dibilang kurma, demikian juga dengan kismis. Sebab nama-nama inilah yang disebutkan di dalam dalil-dalil. Sementara kita tahu dengan jelas bahwa-bahwa hukum syar'i bergantung pada ada dan tidaknya nama-nama obyek hukumnya.

Bagaimanapun, nisab mulai dihitung ketika hasil-hasil tanaman sudah mengering, bukan sebelumnya. Jika salah satu dari empat macam tanaman itu telah mencapai nisab dalam keadaan basah, tapi tidak mencapainya dalam keadaan kering, maka tidak ada kewajiban zakat, sebagaimana disepakati.

Perbedaan antara dua pendapat itu akan nampak dalam hal apabila si empunya tanaman membelanjakan (menggunakan, dengan menjual,umpamanya—penl.) buah anggur sebelum menjadi kismis, atau buah kurma sebelum menjadi buah kurma, atau hasil pohon gandum sebelum waktunya dipanen. Menurut pendapat masyhur, dia harus menjamin untuk fukara dan orang-orang yang berhak menerima zakat; sedangkan menurut pendapat kedua, tidak ada jaminan apapun atasnya.

Ukuran Zakat

Imam as berkata, “ Tanaman yang disirami dengan tali dan timba serta penyiram maka zakatnya adalah seperdua puluh. Sdeangkan yang disirami tanpa menggunakan alat maka zakatnya ialah sepersepuluh.”

Fukaha:  Kadar yang wajib dari zakat tanaman berbeda dengan cara menyiraminya. Tanaman yang disirami oleh sarana alam, zakatnya sepersepuluh (10%) dari hasilnya. Sedangkan yang disirami dengan menggunakan alat-alat maka zakatnya adalah seperdua pulu (5%). Jika tanaman tersebut disirami dengan alat dan kadang-kadang dengan hujan, maka: jika penggunaan alat jarang sekali maka zakatnya adalah 10%, tapi jika penggunaan alatnya lebih banyak maka zakatnya 5%. Jika keduanya digunakan dengan jumlah yang sama maka zakatnya 7,5%, yaitu 10% dari separuh hasil dan 5% dari separuhnya lagi. Jika ragu mana yang lebuh banyak, alat ataukah sarana alam, maka kita batasi pada kadarnya, yaitu kadar yang lebih sedikit yaitu 5%, karena itulah kadar yang wajib bagaimanapun juga.

Biaya dan Pajak penguasa

Zakat wajib dikeluarkan setelah biji (gandum) dibersihkan dan setelah buah (kismis atau kurma) dikeringkan lalu diukur dengan takaran atau timbangan. Juga setelah dikeluarkan untuk pajak untuk penguasa dan biaya-biaya lain secara keseluruhan. Jadi, pajak yang diambil oleh penguasa dan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil tanaman tidak dipikul oleh si pemilik sendiri; dan dia tidak mengeluarkan zakat dari hartanya yang lain, tapi dari hasil keseluruhan hasil ( bersih ) yang dia peroleh.

Hal ini tidak memerlukan pembahasan panjang lebar, dan tidak juga perlu menyebutkan ucapan si fulan dan si fulan sehingga memenuhi halaman-halaman buku, seperti dilakukan sebagian orang. Yang perlu dibicarakan dalam hal ini ialah: apakah ketentuan nisab itu diberlakukan setelah pengeluaran biaya dan pajak, sehingga jika sisa yang ada kurang dari nisab maka tidak ada kewajiban zakat, ataukah nisab ini diberlakukan sebelum biaya dan pajak, sehingga jika jumlah keseluruhan (sebelum biaya pajak) mencapai nisab maka sisa yang (sesudah biaya dan pajak) wajib dizakati walaupun sisa itu kurang dari nisab?

Penulis Jawahir berkata, " Yang masyhur dikalangan fukaha ialah bahwa nisab dihitung setelah pengeluaran biaya. Maka tidak ada kewajiban zakat jika sisa yang ada kurang dari nisab, walaupun jumlah keseluruhan (sebelum biaya pajak) mencapai nisab." Syaik Hamadani di dalam Misbah al-Faqih berkata, " Inilah yang lebih sesuai  berdasarkan ashl al-bara'ah, yaitu kebebasan dari kewajiban zakat jika kurang dari nisab setelah pengeluaran biaya."

Hak atas Seseorang atau Persekutuan dalam Harta Kekayaan

Apakah zakat itu hak seseorang, atau persekutuan dalam harta kekayaan?

Imam Shadiq as berkata, "Sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan fukara dan aghniua (orang-orang kaya) bersekutu di dalam memiliki harta kekayaan; maka tidak dibenarkan mereka (orang-orang kaya) membelanjakan harta kepada selain sekutunya."

Ayah beliau, Imam Baqir as, ditanya tentang zakat yang wajib di tempat-tempat yang tidak mungkin menunaikannya di situ.  Beliau menjawab, "Sisihkanlah dia. Jika engkau berdagang dengannya maka engkau harus menjaminnya ( jika terjadi kerugian—pen) , dan harta zakat itu ikut mendapat keuntungan. Jika kamu tidak menyisihkannya dan tidak pula kamu gunakan untuk berdagang, maka tidak ada tanggungan apa pun atasmu. Jika kamu tidak menyisihkannya maka gunakanlah untuk berdagang bersama hartamu; dan untuk itu harta zakat itu akan mendapat bagian keuntungan, tapi tidak boleh dikenakan kerugian padanya."

Fukaha: Mereka berselisih pendapat, apakah fakir merupakan sekutu si kaya di dalam hartanya secara fisiki ('ain) dan memiliki sejumlah bagiannya, persis sebagaimana si kaya itu sendiri, ataukah si kafir ini sebagai pemilik hak dari harta si kaya tanpa memiliki sedikitpun dari fisiknya (sama persis dengan pemegang harta yang digadaikan [yaitu penerima gadai], di mana dia berhak [kuasa] atas harta itu tanpa memilikinya [karena harta tersebut adalah milik si penggadai], dan bahwa si kaya bertanggung kawab kepada si fakir[(sebagaimana pemilik harta yang digadaikan [yaitu si penggadai] bertanggung jawab kepada penerima gadai)?

Penulis  Jawahir berkata bahwa kebanyakan fukaha, menurut nukilan yang sampai kepada beliau dan sesuai dengan pengetahuan beliau sendiri, berpendapat bahwa zakat terkait dengan harta itu sendiri, dan bahwa si fakir merupakan sekutu si kaya di dalam harta tersebut (yaitu harta yang harus dizakati--pent.) dan dia memiliki sejumlah bagiannya, dengan pemiliknya yang sama persis sebagaimana kepemilikan si kaya. Adapun dalil yang mereka gunakan ialah dua riwayat dari dua Imam tersebut di atas.

Sedangkan kami sependapat dengan Syaikh Hamadani, penulis Misbah al-Faqih, yang meniadakan persekutuan fukara dengan orang-oran kaya di dalam harta kekayaan (yang harus dizakati) dan beliau menetapkan adanya hak si fakir pada harta tersebut, sama persis sebagaimana hak pemilik piutang terhadap harta peninggalan mayit ( yang berhutang kepadanya—pent.) Kami sependapat dengan Syaikh yang mulia ini setelah kami pelajari dan merasa puas dengan dalil-dalil yang beliau gunakan untuk mendukung pendapat beliau. Secara ringkas dalil-dali tersebut adalah sebagai berikut:

Apabila si fakir merupakan sekutu yang sebenarnya bagi si kaya di dalam kekayaannya, berarti si kaya tidak boleh membelanjakannya kecuali dengan izin si fakir, sebagaimana halnya setiap orang yang bersekutu (bersama-sama) dalam memiliki suatu harta. Juga tidak boleh bagi si kaya untuk mengeluarkan zakat dari selain harta yang wajib dizakati kecuali dengan izin si fakir. Demikian pula hasil yang keluar dari hartanya untuk dizakati, seperti susu (yang keluar dari sapi,  onta atau kambing) juga wol (bulu kambing domba) adalah milik bersama sebab hasil ini merupakan cabang dari harta itu sendiri. Tapi tidak ada seorangpun yang berkata demikian itu. Dan barang siapa mengatakan demikian itu maka dia akan berhadapan dengan dalil-dalil nas kebiasaan yang berlaku.

Riwayat-riwayat dari Ahlulbait tentang zakat yang wajib sama persis dengan riwayat-riwayat mereka tentang zakat yang sunah, padahal diketahui bahwa tidak ada persekutuan hakiki di dalam zakat uang sunah. Dengan demikian, yang dimaksud ialah bahwa Allah telah menjadikan hak di dalam harta si kaya sebagaimana hak para pemilik piutang yang terkait dengan harta peninggalan si mayit, sehingga jika si kaya tidak mau menyerahkan hak ini maka hakim syar'i , atau pengumpul zakat yang ditunjuk, atau orang-orang adil dari kaum Muslim dalam rangka menjalankan hisbah (kewajiban-kewajiban kifayah--pent.), atau , jika tidak ada mereka semua, si fakir sendiri, berhak menarik hak tersebut dari si kaya. Tapi yang demikian ini adalah suatu hal, dan bahwa si fakir merupakan sekutu hakiki si kaya adalah hal lain lagi.

Harta Dagangan

Imam Shadiq as ditanya tentang seorang yang mempunyai harta dan menggunakannya untuk berdagang. Beliau berkata, "Jika telah datang satu tahun maka dia harus menzakatinya."

Beliau berkata, "Setiap harta dimana engkau bekerja dengannya (dengan menggunakannya untuk berdagang, umpamanya—pent.) maka engkau berkewajiban mengeluarkan zakatnya jika telah berputar selama satu tahun."

Fukaha: Setiap harta yang digunakan dengan maksud untuk memperoleh keuntunga dan berdagang maka disunahkan padanya zakat, baik harta tersebut berupa hewan, biji-bijian, barang tambang, kain, sayur-sayuran, dan sebagainya.

Zakat pada harta dagangan tidak disunahkan kecuali dengan beberapa syarat. Jika salah satu syaratnya tidak terpenuhi maka tidak ada hukum sunah sama sekali. Syarat-syarat tersebut ialah niat untuk berdagang dan mencari untung, dan nilai harta dayang harus mencapai salah satu dari dua nisab emas dan perak, juga hendaknya perdagangan telah berjalan selama satu tahun, dan niat berdagang harus terus berlanjut selama satu tahun itu, juga harus ada keuntungan yang diperoleh, dan modal tidak boleh berkurang satu rupiah pun selama satu tahun.

Disunahkan juga zakat pada segala macam tumbuhan hasil bumi, baik yang ditakar maupun yang ditimbang, selain empat macam tanaman yang telah disebutkan, dan pada kuda-kuda betina, dengan syarat kuda-kuda iti digembalakan, bukan diberi makan di dalam kandang, walaupun digunakan untuk tunggangan dan sbagainya. Demikian juga disunahkan zakat pada hasil tanah yang mendatangkan hasil; seperti toko dan kebun dan segainya. Hal ini telah disinggung di muka.



















YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT

(MUSTAHIQ)


Telah kami sebutkan di muka bahwa pembicaraan tentang zakat berkisar pada orang yang wajib zakat, harta yang harus dizakati, dan orang yang harus menerimanya. Yang pertama dan yang kedua sudah kita bicarakan. Kini kita bicarakan yang ketiga.

Allah SWT berfirman,


Sedekah adalah untuk fukara, orang-orang miskin, para ‘amil(yang bekerja mengumpulkan zakat), mu’allafah qulubuhum, fir riqab, gharimin, fi sabulillah, dan ibn sabil, sebagai suatu ketetapan yang Allah wajibkan; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.at-Taubah: 60)

Imam as berkata, “Fukara ialah mereka yang tidak meminta-minta dan yang menafkahi keluarga mereka. Bukti bahwa mereka itu orang yang tidak meminta-minta ialah firman Allah SWT, “Bagi orang-orang fakir yang tercegah di jalan Allah, yang tidak mampu bepergian di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka adalah orang dengan tanda (di wajah) mereka.Mereka tidak meminta-minta kepada orang lain karena menjaga harga diri. Orang-orang miskin adalah orang-orang lemah. Termasuk ke dalam mereka ini lelaki, perempuan, dan anak-anak.

Para ‘amil  ialah mereka yang mengambil, mengatur, dan mengumpul zakat dan yang menjaganya hingga mereka memberikannya kepada orang yang akan membagikannya. Mu’allafah qulubuhum ialah orang-orang yang mengesakan Allah dan meninggalkan penyembahan kepada selain Allah, tetapi belum masuk ke dalam hati mereka pengetahuan bahwa Muhammad adalah Rasulullah SAW. Untuk itu, Nabi melunakkan hati mereka dan mengajar mereka agar mereka tahu, dan memberi bagian untuk mereka di dalam zakat, agar mereka mau belajar dan mencintai Islam. Yang dimaksud dengan fir riqab  ialah orang-orang yang terkena kewajiban kifarah karena, umpamanya, membunuh orang dengan tidak sengaja, atau karena berbuat zhihar, atau karena sumpah (yang ia langgar), atau karena membunuh binatang buruan pada waktu ihram, sedangkan mereka tidak mempunyai kifarah, padahal mereka adalah orang-orang yang beriman. Maka Allah SWT memberi bagian untuk mereka di dalam zakat agar mereka dapat mengeluarkan kifarah dengan itu. Gharimin ialah orang-orang yang mempunyai hutang yang mereka belanjakan di dalam ketaatan kepada Allah tanpa menghambur-hamburkannya. Maka wajib atas Imam untuk membayar bagi mereka dari uang zakat.

Fi sabilillah ialah orang-orang yang bepergian untuk berjihad tetapi mereka tidak memiliki suatu apa pun yang memperkuat diri mereka, atau suatu kaum Mukmin yang tidak mempunyai biaya untuk pergi haji, atau untuk melakukan segala macam bentuk usaha yang baik (untuk syiar Islam—pent). Maka wajibbatas Islam memberi mereka uang dari zakat sehingga mereka mampu meneruskan jihad atau pergi haji. Ibn sabil ialah orang yang berada dalam perjalanan di dalam ketaatan kepada Allah (bukan perjalanan maksiat—pent) lalu mereka kehabisan bekal dan uang. Maka Imam wajib mengembalikan mereka ke kampung halaman mereka dari uang zakat.”

Fukaha: Mustahiq zakat ada delapan:

Fukara

Masakin

Para ‘amil

Mu’allafah qulubuhum

Fir riqab

Gharimin

Fi sabilillah

Ibn sabil


1 & 2 Fukara dan Masakin

Sebagian orang mengatakan bahwa kata fakir dan miskin, jika keduanya disebut bersama-sama, maka masing-masing menunjukkan makna tersendiri. Tetapi jika keduanya terpisah maka keduanya menunjukkan makna yang sama. Mereka mengatakan bahwa perbedaan keduanya jika keduanya bertemu ialah bahwa orang yang fakir tidak meminta-minta. Akan tetapi sesungguhnya tidak ada gunanya membahas soal ini setelah diketahui bahwa kedua-duanya sama-sama berhak menerima zakat karena mereka membutuhkannya.

Orang fakir atau miskin yang boleh diberi zakat, menurut syariat, ialah orang yang tidak mempunyai biaya hidup selama satu tahun untuk dirinya dan keluarganya. Sedangkan orang kaya, menurut syariat, ialah orang yang benar-benar memiliki biaya hidup untuk satu tahun atau mampu untuk memilikinya, maksudnya bahwa dia mempunyai pekerjaan di mana hasilnya dapat mencukupi dan memenuhi kebutuhan hidupnya hari demi hari. Imam Shadiq as berkata, “Zakat haram hukumnya bagi orang yang mempunyai biaya hidup satu tahun, dan orang yang memiliki biaya setahun ini wajib mengeluarkan zakat fitrah.” Beliau ditanya tentang seseorang yang mempunyai biaya makan untuk sehari” Apakah dia boleh menerima zakat? Beliau mejawab, “Orang tersebut boleh mengambil dari zakat, sekadar yang dapat mencukupi hidupnya untuk satu tahun, walaupun saat itu dia mempunyai biaya hidup untuk satu bulan, sebab zakat ialah dari tahun ke tahun.”


Memperkaya orang Fakir

Penulis kitab Had’iq  dan penulis kitab Jawahir menukil dari pendapat yang masyhur bahwasannya dibolehkan memberi zakat kepada seorang fakir dengan jumlah yang dapat mencukupi hidupnya selama beberapa tahun, bukan satu tahun saja, denga syarat jumlah tersebut diberikan sekaligus, bukannya beberapa kali. Sebab, dengan diberi sekali maka dia telah memiliki biaya hidup satu tahun sehingga menurut syariat dia sudah dianggap kaya, dan karena itu dia tidak boleh diberi zakat lagi. Mereka berpendapat demikian bersandar pada beberapa riwayat dari Ahlulbait as.

Tetapi saya tidak tahu apakah riwayat-riwayat tersebut sahih ataukah palsu yang mencatut nama para orang-orang terpecaya (tsiqah) untuk mendatangkan manfaat bagi diri mereka sendiri, dan demi menimbun uang zakat atas nama orang lain. Yang saya tahu pasti, membedakan antara memberi sekali dan beberapa kali itu sangat diragukan. Sebab, jika alasan tidak dibolehkannya memberi orang tersebut beberapa kali adalah karena adanya kelebihan biaya hidup satu tahun, maka alasan itupun juga ada pada sekali beri yang jumlahnya lebih dari biaya hidup satu tahun itu. Dengan demikian, pembedaan tersebut adalah mengada-ada. Lagi pula, saya tahu pasti bahwa tujuan pertama dan terakhir dari zakat adalah memenuhi kebutuhan si fakir akan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal; dan bahwa Ahlulbait as berkata, “Jika sedekah-sedekah dibagi dengan cara yang benar maka tidak akan ada seorang fakir pun.” Kita juga tahu bahwa menjadikan kaya orang fakir akan membuat jumlah orang kaya bertambah banyak, sementara orang fakir—maksudnya orang fakir lainnya, yang tidak kebagian zakat akibat diberikannya zakat kepada orang tertentu dalam jumlah yang berlebihan (lebih dari kebutuhannya untuk satu tahun) bertambah fakir. Dengan sebab itu dan sebab- sebab lain, kami berpendapat bahwa orang fakir jangan diberi lebih dari biaya hidupnya selama satu tahun, walaupun dia itu anak seorang marja’ besar, atau marja’ besar itu sendiri.

Pengaku Fakir

Setiap orang yang mengaku fakir diterima pengakuannya selama tidak diketahui kebohongannya, dan dia bisa diberi apa yang ia butuhkan dari zakat. Penulis kitab Jawahir berkata, “Tidak ada khilaf yang berarti pada yang demikian itu.” Dan di dalam kita Madarik disebutkan bahwa yang demikian itu adalah popular dari mazhab ulama kita.

Demikian pula sangat dikenal dari kebiasaan ulama, baik dahulu maupun sekarang, bahwa mereka selalu memberi zakat kepada orang yang memintanya selama tidak diketahui kebohongan orang tersebut. Adapun hadis masyhur yang mengatakan, “Mudda’i (Orang yang mengaku sesuatu atau pihak penuntut) harus mendatangkan bukti, sedangkan orang yang mengingkari harus bersumpah, maka hadis ini tidak mencakup apa yang sedang kita bicarakan, sebab dia khusus berlaku pada masalah tuntut menuntut dan sengketa antara dua pihak.

Juga tidak wajib memberitahukan kepada fakir bahwa yang diberikan kepadanya itu adalah zakat, baik ketika memberinya atau sesudahnya. Abu Bashir berkata, “Saya berkata kepada Imam Baqir, ayah Imam Shadiq as, bahwa salah seorang saudara kami malu menerima zakat, maka saya memberikannya tanpa memberitahukan kepadanya bahwa itu zakat. Beliau menjawab, “Berilah, dan tidak usah kau sebutkan bahwa itu adalah zakat; dan janganlah kau menghina seorang Mukmin.”

Kebanyakan fukaha mengatakan bahwa seorang yang mampu bekerja mencari uang tidak boleh diberi zakat, sebab dia dianggap kaya. Zurarah meriwayatkan dari Imam Baqir as, yang mengatakan, “Sedekah tidak halal untuk orang yang mampu bekerja, dan tidak juga untuk orang yang sehat jasmani yang mampu menanggung jerih payah kerja.”

Jika seorang berkata bahwa orang yang demikian ini bisa dibilang fakir, maka kami jawab bahwa orang tersebut adalah kaya pada dasarnya, selama dia mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Apa bedanya antara orang yang demikian ini dengan orang yang punya harta tetapi tidak membelanjakannya untuk dirinya sendiri hingga ia mati kelaparan?

Penulis Mishbah al-Faqih, ketika membantah pendapat penulis kitab Jawahir, mengatakan dengan sangat bagus, “Yang dimaksud dengan orang kaya yang tidak diberi zakat ialah orang yang benar-benar kaya dan orang yang mampu mencari uang. Akan tetapi hal ini tidak diterapkan karena banyaknya pengangguran dan peminta-minta dan sebagainya, yang sesungguhnya mereka itu mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk bekerja. Akan tetapi, mereka sudah terbiasa hidup dengan menerima sedekah dan tahan dengan kemiskinan dan kesusahan serta sanggup memikul kehinaan meminta-minta dan tidak mau bekerja. Memang, menurut umum, mereka bisa dibilang fakir. Akan tetapi, sesungguhnya mereka adalah kaya, dalam arti bahwa mereka mampu mencukupi dirinya. Karena itu, pendapat mengatakan bahwa orang yang demikian ini tidak boleh diberi zakat, sebagaimana dinisbahkan kepada kebanyakan fukaha, adalah pendapat yang lebih kuat. Sedangkan yang dikatakan dalam kitab Jawahir, bahwa memberikan zakat kepada orang-orang semacam ini adalah suatu kebiasaan, masih bisa diperdebatkan lagi, bahkan ditolak.”

3. Para ‘Amil

Para ‘amil zakat ialah para pengumpul zakat yang ditunjuk oleh Imam atau wakilnya untuk mengumpulkan dari para pembayar zakat dan menjaganya, kemudian menyerahkannya kepada orang yang akan membagikannya kepada para mustahiq. Apa yang diterima oleh para ‘amil dari bagian zakat itu dianggap sebagai upah atas kerja mereka, bukannya sedekah. Oleh karena itu, mereka tetap diberi walaupun mereka kaya.

Disyaratkan bahwa seorang ‘amil haruslah balig, berakal, beriman, dan adil, minimal dapat dipercaya, karena Imam Ali Amirul Mukminin as berkata seorang pengumpul zakat, “Jika engkau memiliki uang untuk disedekahkan maka janganlah engkau menunjuk wakil untuk itu kecuali orang yang tulus, menghendaki kebaikan, dapat dipercaya, dan dapat menjaganya.” Seorang ‘amil juga hendaknya bukan dari kalangan Bani Hasyim, Imam Shadiq as berkata, “Orang-orang dari Bani Hasyim datang kepada Rasulullah saw meminta kepada beliau agar mempekerjakan mereka pada zakat ternak. Mereka berkata, ‘Agar kami mendapat bagian yang Allah tentukan bagi para ‘amil. Kami lebih berhak untuk itu. Maka Rasulullah saw berkata, ‘Wahai Bani ‘Abd al-Muththalib! Sesungguhnya zakat tidaklah halal bagiku dan tidak juga bagi kalian. Akan tetapi aku telah dijanjikan untuk memberikan syafaat.’ Dengan demikian, zakat tersebut tidak halal bagi mereka walaupun sebagai imbalan atas jerih payah mereka.”

4. Mu’allafah Qulubuhum

Salah satu kelompok penerima zakat ialah orang-orang yang disebut mu’allafah qulubuhum, yaitu orang-orang yang dijanjikan hati mereka dan disatukan atas Islam, untuk mencegah kejahatan mereka (agar mereka tidak berbuat jahat terhadap Islam), atau agar mereka mau membantu kaum Muslim dalam membela diri atau membela Islam. Mereka ini diberi bagian dari zakat, walaupun mereka kaya.

Fukaha kita berselisih pendapat tentang apakah mu’allafah qulubuhum ini khusus bagi mereka yang tidak menunjukkan keislaman mereka, ataukah termasuk juga orang yang menunjukkan keislaman tetapi diragukan? Yang pasti, Rasulullah telah menyantuni orang-orang musyrik (yang tidak menunjukkan keislaman), diantaranya ialah Shafwan bin ‘Umayyah, dan juga orang-orang munafik (yang menunjukkan keislaman), diantaranya Abu Sufyan. Dalam hal ini banyak sekali riwayat dari Ahlulbait as. Dengan demikian, kata-kata mu’allafah qulubuhum ini umum berlaku untuk keduanya.

Menurut sebagian mazhab Islam, bagian untuk mu’allafah qulubuhum ini telah gugur, dan permasalahan ini sudah tidak ada lagi setelah Islam menyebar, dan Allah telah memuliakan agama-Nya dengan kekuatan dan jumlah kaum Muslim yang banyak. Sementara itu fukaha Syi’ah mengatakan bahwa bagian ini masih tetap ada selama di bumi ini masih ada non-Muslim dan orang yang memusuhi Islam. Sebab, mustahil suatu akibat menjadi gugur jika penyebabnya masih ada; atau tidak mungkin suatu ma’lul terangkat sedangkan ‘illah-nya masih ada (mu’allafah qulubuhum ini mirip dengan propaganda yang digunakan oleh beberapa negara untuk membela sikap mereka dan menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Bahkan ada yang membentuk kementrian dan departemen khusus untuk menanganinya).

5. Fir Riqab

Yang dimaksud dengan riqab ialah budak. Sedangkan kata fi menunjukkan bahwa zakat untuk bagian ini bukannya diberikan kepada mereka, tetapi digunakan untuk membebaskan mereka dan memerdekakan mereka. Inilah salah satu pintu yang dibuka oleh Islam untuk memberantas perbudakan sedikit demi sedikit. Seperti kita ketahui, pada masa sekarang ini sudah tidak ada lagi perbudakan.

6. Gharimin

Mereka ini adalah orang-orang yang menanggung beban hutang dan mereka tidak mampu membayarnya. Maka hutang mereka itu dilunasi dengan bagian dari zakat, dengan syarat mereka itu tidak menggunakan hutang tersebut untuk dosa dan maksiat.

Imam as berkata, “ Gharimin ialah orang-orang yang terkena hutang yang mereka gunakan di dalam ketaatan kepada Allah tanpa menghambur-hamburkannya. Maka wajib atas seorang Imam untuk melunasi hutang mereka dari uang zakat.”

Menurut pendapat kami, melunasi hutang gharimin termasuk kategori fi sabilillah. Disebutkannya gharimin ini secara tersendiri adalah sekedar untuk mengingatkan bahwa mereka termasuk kategori sabilillah, atau untuk menambah kekhususan, sebagaimana firman Allah, “Peliharalah salat dan salat wustha.”

Jika seseorang mempunyai piutang (uang yang masih dipinjam) pada orang yang tidak mampu membayarnya maka ia (si pemilik) boleh menganggapnya sebagai zakat. Dengan begitu pelunasan hutang dan pelunasan zakat terjadi bersama-sama, dimana orang yang berhutang terlepas dari hutangnya dan yang berpiutang pun telah lepas dari kewajiban zakat. Seseorang pernah bertanya kepada Imam as, “Saya punya piutang atas satu kaum dan telah lama ada pada mereka. Tetapi mereka tidak mampu membayarnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang yang boleh menerima zakat. Bolehkah aku menjadikannya sebagai zakat untuk mereka?” Imam menjawab, “Boleh.”

Tidak ada beda, dalam hal menjadikan hutang sebagai zakat, apakah orang yang berhutang itu masih hidup ataukah sudah meninggal. Imam Shadiq as berkata, “Menghutangi seorang Mukmin adalah keberuntungan. Jika dia mampu maka dia akan membayarmu; tetapi jika dia meninggal sebelum itu maka anggaplah itu sebagai zakat.”

7. Sabilillah

Sabilillah ialah segala sesuatu yang diridai oleh Allah dan yang mendekatkan kepada Allah, apapun dia, seperti membuat jalan, membangun sekolah, rumah sakit, irigasi, mendirikan masjid, dan sebagainya. Dimana manfaatnya adalah untuk kaum Muslim atau selain kaum Muslim.

Syaikh Hamdani berkata dalam kitabnya, Misbah al-faqih juz 3 halaman 101, “Dan sabilillah  tidak terbatas dibelanjakan untuk Syi’ah saja.”

Penulis kitab Jawahir, ketika berbicara tentang sabilillah, berkata, ”Sabilillah termasuk memakmurkan raudhah (makam para maksum), masjid, sekolah-sekolah, mencetak kitab-kitab ilmiah dan kitab-kitab do’a, menikahkan para bujangan, pembebasan pohon atau saluran air untuk kepentingan umum, memberangkatkan haji, membantu orang untuk ziarah, takziah, memuliakan ulama dan salihin, melepaskan orang mazhum dari kezaliman seorang zalim, membeli senjata untuk membela kaum Muslim dan sebagainya.” Dari sinilah al-Ustadz, yaitu Syaikh Ja’far Kasyif al-Ghita, mengatakan, “tidak disyaratkan Islam apabila pemberian kepada non-Muslim itu mengandung maslahat umum, sebagaimana telah kami isyaratkan sebelum ini.

8. Ibn Sabil

Imam as berkata, “Ibn sabil ialah orang yang kehabisan bekal dan uang dalam perjalanan di dalam ketaatan kepada Allah (bukan menjalankan maksiat). Maka seorang Imam harus membantunya hingga dapat kembali ke rumahnya dari uang sedekah.”

Sifat-sifat Mustahiq

Menurut fukaha, orang yang akan menerima zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Dia harus seorang yang bermazhab Syiah Itsna' asyariyah berdasarkan ucapan Imam, "Janganlah kamu berikan zakat kecuali kepada sahabat-sahabatmu."

Saya kira, tidak ada seseorang yang tidak mengetahui rahasia hal ini, setelah berlaku menurut kebiasaan sejak dulu bahwa setiap golongan akan mementingkan kebaikan bagi orang-orang dari golongannya sendiri. Ditambah lagi adanya undang-undang moderen di zaman ini, di Barat dan di Timur, yang menetapkan bahwa orang asing tidak mewarisi penduduk asli, walaupun keduanya mempunyai hubungan yang paling dekat, baik dari segi nasab (pertalian darah) maupun dari segi sebab (pertalian perkawinan) kecuali jika masing-masing dari dua negara yang bersangkutan membolehkan orang asing untuk mewarisi. Jika seseorang yang berwarga negara Inggris mempunyai kekayaan di negaranya, lalu dia melahirkan anak, tetapi anak ini berwarga negara Perancis, maka si anak tidak berhak mewarisi ayahnya kecuali jika undang-undang Inggris membolehkan orang asing mewarisi warga negaranya.

Akan tetapi harus dijelaskan di sini bahwa mu'allafah qulubuhum dikecualikan dari syarat ini, sebab mereka itu adalah justru orang-orang kafir atau munafik. Demikian pula, dikecualikan orang yang diberi zakat karena alasan maslahat umum, bukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Juga harus dijelaskan bahwa syarat ini khusus berlaku pada zakat. Adapun sedekah-sedekah sunah boleh diberikan kepada setiap orang yang membutuhkan, baik orang yang ingkar atau orang Mukmin, sebab setiap amal baik tentu ada pahalanya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis.

2. Pemberian tersebut tidak akan membantunya di dalam perbuatan dosa, seperti orang yang menggunakannya di dalam kemaksiatan dan kejahatan. Syarat yang demikian ini tidak memerlukan dalil, sebab sudah sangat jelas adanya. Lagi pula sudah kita sebutkan di muka tentang ibn sabil dan gharimin, bahwa bepergian dan berhutang itu bukanlah di dalam rangka kemaksiatan kepada Allah. Bahkan sebagian fukaha memperketat dengan mensyaratkan keadilan(sifat adil). Namun, dengan syarat demikian itu berarti mereka telah menutup pintu zakat bagi banyak orang.

3. Ia bukanlah orang yang wajib dinafkahi oleh pemberi zakat, seperti ayah dan ibu dan terus ke atas, dan anak terus ke bawah, dan juga istri. Imam Shadiq as berkata, "Lima orang yang tidak diberi zakat: ayah, ibu, anak, istri, dan budak. Sebab mereka semua itu adalah keluarganya dan tanggungannya."

Adapun kerabat yang lain, seperti saudara, paman (saudara ayah atau saudara ibu), maka boleh bahkan disunahkan, dan lebih penting daripada orang lain. Imam Shadiq as berkata, "Tidak ada sedekah (untuk orang lain) sedangkan keluarga dekat dalam keadaan membutuhkan."

Seorang istri boleh menyerahkan zakat hartanya kepada suaminya jika suami membutuhkan, sebab dia tidak wajib menafkahi suami. Sebagian fukaha mengatakan bahwa sang suami tidak boleh menafkahi istrinya dari uang zakat yang ia terima dari istrinya itu. Akan tetapi yang demikian itu tidak ada dalilnya--selain istihsan, yang tidak boleh dipegang di dalam pengambilan hukum.

Ayah dan anak boleh saling melunasi hutang, atau sang ayah boleh menikahkan anaknya, dari zakat. Sebab, menikahkan dan membayar utang tidak wajib atas keluarga dekat satu sama lain (seperti antara kedua orang tua dan anak). Yang wajib (dalam nafkah) adalah memberi sandang, pangan, dan papan saja.

Demikian pula, dibolehkan bagi setiap mereka untuk membayar zakat kepada yang lain dalam kedudukan sebagai 'amil, sebab yang mereka ambil dari zakat bagian ini adalah upah kerja mereka, walaupun mereka sendiri orang kaya.

4. Ia bukan dari kalangan Bani Hasyim (Hasyimi) jila zakatnya dari non-Hasyimi. Tetapi mereka boleh menerima zakat dari sesama Hasyimi. Imam Shadiq as ditanya tentang sedekah yang haram bagi Bani Hasyim: Sedekah apakah itu? Beliau menjawab, "Sedekah yang merupakan zakat." Orang tadi bertanya lagi, "Bolehkah sedekah antara sesama mereka sendiri?" Beliau menjawab, "Boleh."

Tetapi, jika seorang Hasyimi dalam keadaan terpaksa, di mana tidak ada khumus dan juga tidak ada zakat dari kalangan mereka sendiri, maka dia boleh menerima zakat dari selain mereka berdasarkan kesepakatan. Mereka juga boleh diberi dan menerima zakat yang sunah secara mutlak, dari sesama mereka ataupun dari selain mereka, katena terpaksa ataupun tidak. Imam Shadiq as ditanya apakah sedekah halal bagi Bani Hasyim. Sedekah wajib tidak halal bagi kami. Adapun selainnya maka tidak apa-apa."


















HUKUM-HUKUM ZAKAT


Niat

Zakat tidak sah kecuali dengan niat takarub kepada Allah SWT, sebab dia adalah ibadah. Maka, barangsiapa menunaikannya hanya karena untuk kedudukan atau karena pamer maka zakatnya tidak sah. Tetapi seseorang boleh mengumumkannya, terutama jika maksudnya ialah untuk memberi semangat agar orang lain menirunya. Imam Shadiq as berkata, "Jika seseorang membawa zakat lalu memberikannya dengan terang-terangan (di depan orang banyak) maka tidak ada aib baginya dalam hal itu.

Di dalam suatu riwayat, beliau berkata,"Memberikannya secara terang-terangan lebih utama dari sembunyi-sembunyi." Allah SWT berfirman, Jika kalian menampakkan sedekah, maka baiklah ia; jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada fukara maka itu lebih baik buat kalian.

Tidak ada Perantara antara Allah dan Manusia

Islam memliki kelebihan dengan agama-agama lain dalam hal bahwa dalam islam tidak mengenal perantara dalam hubungan Khaliq dengan makhluk. Setiap orang bisa berhubungan dengan Allah dengan cara mengikhlaskan niat dan amalnya tanpa perantara seorang alim pun dan tanpa melalui seorang wali pun. Sebagaimana Allah menerima puasa, shalat, dan haji dari hamba-Nya tanpa persetujuan atau izin siapapun, maka demikian pula Allah SWT menerima zakat hamba-Nya tanpa menyerahkannya terlebih dahulu kepada seorang fakih yang memenuhi syarat. Jika ada yang mengharuskan yang demikian itu maka kami akan mempertanyakannya.

Penulis kitab Hada'iq berkata,"Kebanyakan fukaha, terutama yang mutakhir, berpendapat bahwa pemberi zakat atau wakilnya boleh membagikan zakatnya sendiri, berdasarkan riwayat-riwayat mustafidh dari Ahlul bait as yang sebagiannya telah disebutkan di muka dan sebagiannya lagi akan disebutkan nanti. Demikian pula riwayat-riwayat yang menunjukkan perintah nenyampaikan zakat kepada mustahiq-nya, dan riwayat-riwayat yang menunjukkan dibolehkannya memindah zakat dari satu kota ke kota lain jika tidai ada mustahiq di kota yang pertama; demikian pula riwayat-riwayat yang menunjukkan dibolehkannya membeli budak-budak (untuk dibebaskan—pent.) dengan zakat, dan riwayat-riwayat lain yang sangat banyak dan berulang-ulang."

Selanjutnya penulis kitab Hada'iq berkata, "Yang mendukung apa yang kami katakan diatas ialah riwayat bahwa seseorang datang kepada Imam Baqir, ayah Imam Shadiq as, dan berkata, "Semoga Allah merahmati Tuan. Terimalah lima ratus dirham dari saya ini dan letakkanlah ia ditempatnya. Sesungguhnya uang ini adalah zakat hartaku" Imam berkata, "Tidak. Ambillah olehmu dan bagikan pada tetangga-tetanggamu, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan saudara-saudaramu sesama Muslim."

Cara Membagi Zakat

Telah kami sebutkan di muka bahwa penerima zakat ada delapan golongan, yaitu fukara, masakin, 'amil, mu'allafah qulubuhum, budak-budak, gharimin, ibn sabil, dan sabilillah. Maka muncullah pertanyaan: Apakah wajib atas pemilik zakat atau wakilnya membagi zakat kepada seluruh golongan jika semua itu ada, atau pada siapapun diantara mereka yang ada,  ataukah boleh membagi zakat tersebut pada golongan tertentu saja secara khusus walaupun bisa membaginya pada mereka semua?

Jawab:

Para fukaha sepakat, dengan kesaksian penulis kitab Jawahir, bahwa tidak wajib membagi zakat pada seluruh golongan mustahiq. Jadi dibolehkan membaginya pada satu golongan tertentu, atau pada sekelompok orang dari satu golongan, bahkan pada satu orang dari suatu golongan. Hal ini ditunjukkan oleh ucapan Imam Shadiq as, "Rasulullah saw membagi sedekah penduduk desa pada penduduk desa, dan zakat penduduk kota pada penduduk kota. Beliau tidak membaginya sama rata. Tetapi beliau membaginya berdasarkan kebutuhan mereka."

Beliau ditanya oleh seseorang tentang seseorang yang berkewajiban zakat, akan tetapi ayahnya meninggal, sedangkan dia (sang ayah) masih mempunyai hutang. Bolehkah dia mengeluarkan zakatnya untuk membayar hutang ayahnya? Beliau menjawab, " Tak ada yang lebih berhak menerima zakat daripada (ayahnya) untuk membayar hutangnya itu. Jika dia mngeluarkan zakatnya untuk membayar hutang ayahnya dalm keadaan demikian (maksudnya dalam keadaan si ayah tidak meninggalkan warisan) maka hal itu sudah mencukupi."

Dalam riwayat lain beliau berkata, "Jika engkau membaginya pada mereka semua, atau jika engkau memberikannya untuk satu oranh, maka hal itu sudah mencukupi."

Hanya saja, disunahkan mendahulukan kerabat dan ulama serta orang-orang salih. Ketika Imam Ja'far Shadiq as ditanya, "Bagaimanakah saya memberi para mustahiq?" Beliau menjawab, "Berikanlah kepada orang-orang yang berhijrah karena agama, dan para ahli fiqih serta para ulama." Didalam riwayat lain disebutkan bahwa orang yang tidak meminta diutamakan daripada yang meminta.

Pemilik Harta adalah Terpecaya

Jika seorang pemilik harta berkata, "Saya sudah mengeluarkan zakat hartaku," atau jika ia berkata, "Belum ada kewajiban zakat pada hartaku," maka ucapannya tersebut diterima tanpa perlu bukti atau sumpah selama tidak diketahui bahwa dia berbohong. Masalah ini kasus di mana ucapan seseorang pengaku dapat diterima begitu saja (Tanpa bukti atau sumpah—pent.) Sumber hukum ini ialah bahwa Imam Ali as, jika mengutus pengumpul zakat, berkata kepadanya, "Jika kamu mendatangi pemilik harta, katakanlah, 'Bersedekalah dari apa yang telah Allah berikan kepadamu, semoga ia merahmatimu.' Jika ia berpaling darimu, maka janganlah kamu memintanya lagi."

Ucapan Imam as di atas juga bisa menjadi dalil untuk apa yang telah kami sebutkan di atas bahwa tidak ada perantara antara Allah dan manusia, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak mengangkat dirinya sebagai Wakil Allah SWT, lalu dia mendebat dan menuntut (orang yang tidak memberikan zakatnya kepadanya) seperti dalam kasus tersebut di atas.

Memindahkan zakat

Fukaha berkata, "Seseorang boleh memindahkan zakatnya dari satu kota ke kota yang lain jika tidak ada mustahiq di kotanya itu."

Kami menyebutkan masalah ini, padahal kami tahu bahwa orang yang memperhatikan hal ini sangatlah sedikit, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Akan tetapi, tujuan kami ialah untuk mengingatkan bahwa orang-orang zaman dulu sangat  merasakan kewajiban zakat dan sangat memperhatikan pelaksanaannya, sementara orang-orang fakir menolaknya, sehingga pemilik zakat terpaksa memindahkannya dari satu kota ke kota lain. Adapun sekarang, keadaannya terbalik, dimana sedikit sekali orang yang memberi tetapi banyak yang meminta. Padahal kita tahu bahwa zaman dulu harta lebih sedikit dibanding sekarang.

Jumlah Minimal yang diberikan kepada Seorang Fakir

Diriwayatkan dari Imam Shadiq as bahwa beliau berkata, "Seseorang tidak diberi zakat kurang dari lima dirham (yakni tidak kurang dari bagian pertama pada zakat perak). Jumlah tersebut adalah jumlah minimal yang Allah wajibkan zakatnya pada harta kaum Muslim. Maka janganlah kalian memberi zakat kepada seseorang kurang dari lima dirham."

Di dalam riwayat lain beliau ditanya, "Bolehkah seseorang diberi zakat sejumlah dua atau tiga dirham?" Beliau menjawab, "Boleh."

Sebagian fukaha berkata bahwa yang dimaksud dengan "boleh" dalam riwayat di atas ialah bahwa pemilik zakat boleh memberi kurang dari lima dirham, dan syariat menerima hal itu. Sedangkan yang dimaksud dengan ucapan beliau bahwa seseorang tidak boleh diberi kurang dari lima dirham ialah bahwa pemberian yang kurang dari jumlah tersebut adalah makruh. Maka dengan penggabungan semacam ini hilanglah pertentangan antara dua riwayat di atas. Yang demikian ini disebut jam'u 'urfi (penggabungan umum) yang sudah mengandung petunjuk di dalamnya (untuk penggabungan semacam itu), sehingga perlu ditunjuk dari luar, sama persis seperti penggabungan antara khash (khusus) dengan yang 'aam (umum), atau antara uang muthlaq (mutlak) dengan yang muqayyad (terbatas). Hal ini telah kami singgung di muka.

Mempermainkan Allah dan Manusia

Sayid Kazhim berkata di dalam kitab al-'Urwah al-Wustha, "Seorang fakir atau seorang hakim syar'i tidak boleh menerima zakat dari seseorang lalu mengembalikannya lagi kepada orang tersebut atau melakukan mushalahah (Persetujuan bersama antara pihak-pihak yang bersangkutan untuk menempuh suatu jalan demi menyelesaikan masalah mereka—pent.) dengan imbalan sesuatu yang sangat sedikit, atau merima sesuatu darinya dengan imbalan harga yang lebih mahal darinya, dan sebagainya. Semua itu adalah helah (cara-cara terpuji) untuk mengembalikan hak fukara. Demikian pula dalam hubungannya dengan khumus dan mazhalim (harta-harta yang diperoleh dari kezaliman seseorang terhadap orang lain) dan sebagainya."

Sayid Hakim, di dalam kitabnya Mustamak. Ketika mengomentari masalah ini, berkata, "Nampaknya tidak apa-apa menerima yang demikian itu, apabila pemberian tersebut tidak disyaratkan agar dikembalikan, tetapi diberikan secara mutlak, sekalipun dengan niat agar dikembalikan, sebab uang demikian itu berlangsung sesuai dengan kaidah awwaliyah."

Makna komentar yang demikian itu ialah, jika si pemberi zakat menerangkan kepada si fakir bahwa saya meberimu sejumlah uang zakat ini dengan syarat engkau mengembalikannya kepadaku setelah kuberikan kepadamu, lalu si fakir menerimanya, maka zakat tersebut tidak sah dan belum gugur dari si pemberi. Adapun jika si pemberi tidak mengucapkan syarat tersebut, dia hanya memberikab zakat tersebut kepada si fakir dengan niat agar si fakir mengembalikannya kepadanya, lalu si fakir benar-benar mengembalikan sesudah ia terima, dan si fakir pun menerimanya dengan niat tersebut (yaitu dengan niat mengembalikannya kepada si pemberi, sehingga tidak tersisa apa pun pada si fakir dari zakat tersebut, atau tersisa sedikit, maka kewajiban zakat tersebut telah gugur dari si pemberi.

Di sini muncul pertanyaan-pertanyaan yang saling berhubungan. Apakah niat si pemberi itu sesuai dengan niat takarub kepada Allah yang merupakan syarat di dalam zakat, ataukah bertentangan? Apakah diperbedaan dari segi kenyataan dan natijah (hasil akhir) antara menerima sesuatu dengan syarat (agar dikembalikan) dan menerimanya dengan niat (agar dikembalikan)? Kalaupun pada kenyataannya ada perbedaan antara keduanya itu, apakah orang-orang awam dapat memahami perbedaan tersebut, ataukah hanya orang-orang khusus seperti Sayid Hakim dan seperti beliau saja yang memahaminya? Kalau dia hanya dipahami oleh orang-orang tertentu, apakah hukum-hukum syariat mengikuti maslahat dan mudarat yang nyata, sebagaimana pendapat mazhab Syiah Imamiyah, lalu bagaimana mungkin satu kenyataan bisa berubah dari halal menjadi haram, atau sebaliknya, hanya karena perubahan bentuk lafal saja? Kemudian, jika yang demikian ini dibolehkan, maka apakah makna ucapan Rasulullah saw dan keluarga beliau yang suci, "Jika hak-hak para mustahiq diberikan dengan benar maka tidak akan ada seorang fakir pun. "Bukankah pembolehan itu berarti bahwa seorang yang fakir akan bertambah fakir dan menderita dan yang kaya akan bertambah kaya? Kemudian apakah akal-akalan (helah) semacam itu ada yang halal dana ada yang haram, yang benar dan yang salah, yang keliru dan yang betul, ataukah seluruh akal-akalan itu harama? Sebab, kalimatnya sendiri sudah menunjukkan hal itu. Lagi pula, Allah SWT melihat fakta dan amal, bukan melihat kalimat dan bentuknya.





















ZAKAT FITRAH

Kewajibannya

Zakat fitrah, yang juga dinamakan zakat abdan dan zakat riqab, wajib dengan selesainya Ramadhan. Kewajiban telah ditetapkan dalam agama dengan pasti, sama persis seperti kewajiban salat dan zakat harta. Imam Shadiq as berkata, "Mengeluarkan zakat fitrah termasuk kesempurnaan puasa, sebagaimana salawat kepada Nabi saw adalah kesempurnaan salat. Sebab, barangsiapa berpuasa tetapi tidak menunaikan zakat (fitrah) maka tidak puasa baginya, jika dia meninggalkannya dengan sengaja, sebagaimana tidak ada salat baginya jika dia tidak bersalawat kepada Nabi saw. Allah SWT telah menyebutkan zakat sebelum salat di dalam firman-Nya, Sungguh telah menang orang yang mengeluarkan zakat, dan dia menyebut nama Tuhannya serta melakukan salat."

Atas Siapa Zakat Fitrah Diwajibkan?

Imam Shadiq as berkata, "Zakat haram (menerimanya) bagi orang yang mempunyai biaya hidup selama satu tahun, dan zakat fitrah wajib (mengeluarkannya) atas orang yang mempunyai biaya hidup satu tahun."

Beliau berkata, "Tidak ada (kewajiban) zakat atas anak yatim."

Beliau pernah ditanya, "Bagi siapakah zakat fitrah ini halal?"

Beliau menjawab. "Bagi orang yang tidak mendapatkan (biaya hidup satu tahun). Barangsiapa yang zakat ini halal baginya (menerimanya) maka tidak wajib atasnya (mengeluarkannya). Dan barangsiapa yang zakat ini wajib atasnya (mengeluarkannya) maka tidak halal baginya (menerimanya)."

Fukaha: Mereka sepakat bahwa zakat fitrah wajib atas orang yang mengalami terbenamnya matahari pada malam Id, yaitu matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, dalam keadaan balig, berakal, kaya, dan tidak pingsan. Jika salah satu dari sifat-sifat tersebut tidak ada pada seseorang maka zakat ini tidak wajib atasnya. Misalnya apabila matahari terbenam sedangkan dia belum balig, atau dia sedang dalam keadaan gila, atau dalam keadaan pingsan, atau tidak mempunyai biaya hidup, untuk dirinya dan keluarganya, baik secara nyata maupun kekuatan (yakni bahwa dia tidak punya kekuatan dan kemampuan untuk menghidupi diri dan keluarganya), selama satu tahun penuh.

Siapa Saja yang Wajib Dibayarkan?

Imam Shadiq as berkata, "Zakat fitrah wajib dibayarkan untuk anak kecil maupun orang dewasa, untuk orang merdeka maupin budak. Untuk setiap orang dari mereka itu zakatnya sebanyak satu sha' gandum, kurma, atau kismis."

Beliau ditanya tentang seseorang yang kedatangan tamu dari saudaranya sendiri, lalu datang hari Idul fitri. Apakah dia harus mengeluarkan zakat untuk tamunya itu juga? Beliau menjawab, "Ya. Zakat fitrah wajib atas seseorang untuk orang-orang yand dia nafkahi, baik lelaki maupun perempuan, baik anak kecil maupun orang dewasa, baik orang merdeka majpun budak."

Fukaha: Wajib atas seseorang mengeluarkan zakat untuk dirinya dan untuk setiap orang yang nerada di bawah tanggungannya, baik tanggungan yang wJib maupun sunah; Bahkan tamu dan bayi jika keduanya ada sebelum terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan, walupun sekejap.

Orang berada di bawah tanggungan orang lain pada malam Idul Fitri, walaupun dengan cara bertamu, maka kewajiban zakat gugur darinya.

Ukuran dan Jenisnya

Imam as ditanya, "Dari apakah zakat fitrah dikeluarkan?" Beliau menjawab, "Dikeluarkan dari segala sesuatu, seperti kurma, kismis, dan lain-lain sebanyak satu sha'."

Beliau juga berkata, "Zakat fitrah wajib atas tiap orang sebanyak empat mud hinthah, kurma, atau kismis. Empat mud itu adalah satu sha' persis."

Beliau juga berkata, "Fitrah itu wajib atas setiap kaum dari apa saja yang dimakan oleh mereka dan keluarga mereka, seperti susu, kismis, dan lain sebagainya." Beliau juga berkata, "Atas setiap orang yang memakan suatu jenis makanan (makanan pokok) maka dia dapat mengeluarkan zakat fitrah dari makanan pokoknya itu."

Beliau ditanya tentang fitrah, "Bolehkah mengeluarkan zakat fitrah dengan perak seharga hal-hal yang Anda sebutkan itu?" Beliau menjawab, "Boleh. Yang demikian itu lebih bermanfaat baginya, sebab dia dapat membeli apa saja yang ia inginkan dengan perak tersebut."

Fukaha: Yang wajib pada zakat fitrah adalah satu sha' hinthah, sya'ir, kurma, kismis, aqut, (susu yang dikeringkan atau dikentalkan, yang belum diambil lemaknya), beras jagung, dan lain sebagainya yang termasuk makanan pokok. Yang paling bagus, menurut fukaha, ialah hinthah, sya'ir, kurma, atau kismis, sebab empat barang ini disebutkan di dalam nas lebih dari sekali. Mungkin saja empat barang itu adalah makanan pokok yang paling banyak dimakan pada masa itu. Dengan demikian maka yang paling baik ialah mengeluarkan zakat dari apa saja yang paling banyak dimakan di suatu mas. Hal ini disyaratkan oleh ucapan Imam as, “ Dari setiap orang yang memakan satu jenis makanan.”

Satu sha’ ialah sekitar tiga kilogram. Boleh juga mengeluarkan zakat berupa uang sebagai ganti dari empat hal tersebut di atas yang sesuai dengan harga di pasar, bahkan yang demikian itulah yang terbaik, sebab si fakir dapat membeli apa pun yang ia inginkan dengan uang tersebut, sebagaiman kata Imam as.

Waktunya

Imam Shadiq as ditanya tentang fitrah : Kapankah ia dilaksanakan? Beliau menjawab, “Sebelum melaksanakan salat pada hari Idul Fitri.”

Beliau ditanya tentang bayi yang lahir pada malam Idul Fitri. Beliau menjawab, “Tidak ada kewajiban  fitrah atasnya. Fitrah ini tidak wajib kecuali orang yang mengalami (pergantian) bulan.”

Fukaha: Ada waktu untuk zakat fitrah. Yang pertama adalah waktu kewajibannya. Yang kedua adalah waktu pengeluaran dan penunaiannya. Waktu yang pertama datang dengan masuknya hilal bulan Syawal. Maka barangsiapa mengalami hilal tersebut sedangkan dia memenuhi syarat-syarat zakat fitrah maka zakat tersebut wajib atasnya. Sedangkan waktu yang kedua, yaitu waktu pengeluaran, dimulai dari awal waktu kewajiban sampai zawal di hari Id. Sedangkan yang paling bagus ialah mengeluarkan zakat fitrah sebelum salat Id. Dalam hal ini banyak sekali riwayat dari Ahlulbait as.

Jika seseorang belum mengeluarkannya sebelum zawal  atau belum menyisihkannya, maka dia mengeluarkannya setelah zawal pada hari Id dengan niat takarub kepada Allah, tanpa niat qada (qadha’an) ataupun tunai (ada’an); sebab sekelompok ulama besar, seperti Syaih Shaduq, Syaikh Mufid, dan ‘Allamah Hilli, mengatakan bahwa zakat tersebut telah gugur, karena dia terbatas waktunya. Sesuatu yang terbatas waktunya akan hilang dengan hilangnya waktu tersebut. Hal ini dapat dipahami dari ucapan Imam as, “ Jika kau memberikannya kepada fakir sebelum kau pergi menuju salat maka dia adalah fitrah. Tetapi jika memberikannya sesudah salat maka ia adalah sedekah.”

Zakat fitrah tidak boleh diajukan sebelum hilal bulan Syawal, sebab yang demikian itu berarti melaksanakan sesuatu yang tidak wajib, karena kewajiban zakat fitrah ini hanya setelah masuknya hilal bulan Syawal. Maka yang demikian itu sama seperti melaksanakan salat sebelum waktunya. Memang boleh jika seseorang memberi sesuatu kepada si fakir sebagai hutang, lalu menghitungnya sebagai zakat setelah datangnya kewajiban.

Pengeluaran

Imam Shadiq as ditanya tentang, “Untuk siapakah zakat fitrah?” Imam menjawab, “Untuk orang yang tidak punya apa-apa.”

Beliau berkata, “Zakat fitrah diberikan kepada ahlinya, kecuali jika kau tidak mendapatkan mereka. Jika kau tidak mendapatkan mereka maka dia berikan kepada mereka yang tidak menegakkan (maksudnya, yang tidak menegakkan permusuhan terhadap Ahlulbait as).”

Fukaha: Pengeluaran dan pembagian zakat fitrah sama dengan pengelolaan zakat harta kekayaan, berdasarkan riwayat-riwayat Ahlulbait as, dan juga karena zakat fitrah termasuk salah satu sedekah yang dicakup oleh ayat 60 surah at-Taubah. Mereka tidak mengecualikan, dari yang delapan golongan penerima zakat itu, selain mu’allafah qulubuhum dan ‘amil. Mereka juga membolehkan zakat fitrah diberikan kepada mustadh’afin dari kaum Muslim selain Syiah Itsna’asariyah, apabila tidak ada seorangpun dari mereka.

Masalah-masalah

Seorang fakir tidak boleh diberi kurang dari satu sha’, yaitu tiga kilogram, berdasarkan ucapan Imam Shadiq as, “Seseorang tidak boleh dibri kurang dari satu kepala (satu sha’).”

Di dalam zakat ini diajibkan niat takarub kepada Allah, sebab dia adalah ibadah.

Penulis kitab Jawahir berkata, “Disunahkan mengkhususkan keluarga dekat, berdasarkan ucapan Imam as, ‘Tidak ada sedekah (untuk orang lain) sedangkan keluarga dekat dalam keadaan membutuhkan.’ Stelah mereka ini, tetangga; berdasarkan ucapan beliau, ‘Tetang si pemberi lebih berhak terhadap sedekah itu.’ Demikian pula ditekankan untuk mengutamakan orang-orang yang mempunya kelebihan dalam hal agama dan ilmu. Imam as berkata, ‘Berilah mereka yang mendalami agama, fiqih, dan ilmu.’” Kemudian penulis Jawahir berkata, “Yang dimaksud adalah keluarga dekat, tetangga, ahli agama, ahli fiqih, dan orang berilmu adalah orang-orang yang diutamakan.









Published with Blogger-droid v2.0.4